Gus Yahya Kenang Gus Dur: dari Permintaan Maaf kepada Korban G30S hingga Dekret Pembubaran DPR
NU Online · Rabu, 28 Mei 2025 | 20:30 WIB

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) (Foto: Tangkapan layar akun YouTube Narasi Newsroom)
M Fathur Rohman
Kontributor
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengenang sosok Gus Dur sebagai pemimpin yang tak hanya berani dan kontroversial, tetapi juga konsisten menempatkan kemanusiaan sebagai inti dari seluruh langkah politiknya.
Dalam wawancara bersama Narasi Newsroom Gus Yahya mengungkap kembali cerita-cerita penting di balik keputusan-keputusan besar Gus Dur yang hingga kini masih menjadi perbincangan.
Salah satu kisah yang paling berkesan adalah ketika Gus Dur menyuarakan permintaan maaf kepada para korban peristiwa 1965. Wacana ini memicu reaksi keras, menurut Gus Yahya, Gus Dur tak pernah bermaksud menyalakan konflik baru. Justru sebaliknya, ia ingin membuka ruang diskusi nasional tentang rekonsiliasi dan keadilan.
Baca Juga
Tiga Tokoh yang Dihormati Gus Dur
"Gus Dur itu salah satu senjata politik utamanya adalah pernyataan-pernyataannya untuk memicu diskusi, negosiasi, dan proses politik," ujar Gus Yahya dikutip dari video wawancara bersama Narasi Newsroom dikutip pada Rabu (28/5/2025). “Bukan soal apakah pernyataan itu langsung terealisasi, tapi untuk menggerakkan solusi,” tambahnya.
Langkah-langkah kontroversial Gus Dur lainnya tak kalah monumental. Saat gejolak politik mencapai puncaknya pada tahun 2001, Gus Dur sempat menyusun dekret pembubaran DPR, serta pembekuan Partai Golkar. Menurut Gus Yahya dekret tersebut ditulis langsung oleh Gus Dur sendiri.
"Gus Dur mendiktekan sendiri dekret itu: Bubarkan DPR, bekukan Golkar, selenggarakan pemilu dalam setahun," ungkap Gus Yahya. "Saya disuruh membacakan dekret itu karena sekretaris presiden bilang: ‘Aku gak tega, Yahya aja yang baca," tambahnya.
Namun di tengah semua kegentingan itu, Gus Dur tetap memegang prinsip bahwa kekuasaan tidak boleh ditegakkan di atas penderitaan rakyat.
"Beliau sering bilang: 'Tidak ada kekuasaan yang seharga nyawa'. Makanya beliau memerintahkan pendukungnya pulang saat demo besar-besaran di Istana," terangnya.
Dalam kondisi yang makin memburuk karena sakit, Gus Dur akhirnya meninggalkan Istana bukan karena menyerah, tetapi untuk berobat. Ia menyebut keputusan itu sebagai bentuk tanggung jawab moral bukan pelarian dari medan perang.
"Gus Dur bilang ke saya: 'Saya gak akan keluar dari Istana karena ini medan pertempuran. Meninggalkan istana sama dengan lari dari medan perang, itu dosa besar'. Tapi beliau juga berkata: 'Saya sakit, jadi berobat ke AS bukan kabur dari pertempuran'," jelasnya.
Gus Yahya mengatakan seluruh keputusan politik Gus Dur selalu berakar pada prinsip-prinsip fikih. Ia bukan hanya seorang politisi, tetapi juga kiai yang memegang teguh ilmu dan pertimbangan syariah dalam setiap langkah kenegaraan.
Warisan Gus Dur kini mulai dipahami generasi baru sebagai visi yang mendahului zamannya. Dalam banyak hal, pernyataan-pernyataan dan kebijakan beliau ternyata justru semakin relevan di tengah kompleksitas politik dan kemanusiaan saat ini.
"Gus Dur selalu mengatakan: Nanti sejarah yang akan membuktikan. Beliau tak ingin dihakimi saat ini, tapi oleh generasi mendatang," pungkasnya.
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
5
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
6
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
Terkini
Lihat Semua