Nasional

Gus Mus Pimpin Diskusi Lintas Generasi NU di Kajen Pati

Ahad, 12 Januari 2020 | 08:45 WIB

Gus Mus Pimpin Diskusi Lintas Generasi NU di Kajen Pati

Gus Mus bersama para kiai muda usai diskusi Majma' Buhuts al-Nahdliyah di kediaman KH Muadz Thohir Kajen Pati, Sabtu (11/1). (Foto: Dok Facebook Alissa Wahid)

Jakarta, NU Online
Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri memimpin diskusi tokoh lintas generasi Nahdliyin (sebutan warga NU) di Pesantren Raudlatul Thahiriyyah, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, Sabtu (11/1) akhir pekan kemarin. Sejumlah tokoh merupakan pengasuh pesantren, pengurus PBNU serta pimpinan badan otonomi NU. Pertemuan itu disebut Majma Buhuts an-Nahdliyyah (Forum Kajian Ke-NU-an).
 
 
Hadir dalam pertemuan tersebut sejumlah tokoh seperti H Asad Said Ali, dai kondang Gus Muwaffiq, ulama muda NU Gus Baha’, pengasuh Pondok Pesantren Tremas KH Lukman Harist Dimyathi, pengasuh ngaji online Gus Ulil, kiai muda Abdul Moqsith Ghazali, Rumadi Ahmad dan Marzuki Wahid (PP Lakpesdam PBNU), serta Koordinator Seknas Gusdurian Alissa Qothrunnada Munawaroh, dan Direktur NU Online Savic Ali.
 
Dari Pati sendiri, tampak hadir Ketua PP RMI KH A Ghaffar Rozin, KH Muadz Thohir, KH Nuruddin Amin, KH A Ghafur Maemoen, dan sejumlah ulama muda dari eks Karesidenan Pati. Dari kalangan perempuan, Alissa Wahid, Hindun Anisah Nuruddin, Tutik Nurul Jannah, Ienas Tsuroiya, dan lain-lain.    
 
KH Baha'uddin Nur Salim atau yang akrap disapa Gus Baha' diberikan kesempatan untuk pemaparan pemikiran moderat. Menurutnya, pemahaman moderat dan toleran bisa disampaikan dengan merujuk pada kitab-kitab yang sudah populer di kalangan pesantren.
 
“Kita yang sedang saleh, bisa saja su’ul khatimah. Atau juga ketika melihat orang lain yang sedang fasiq bisa saja khusnul khatimah. Dengan perspektif itu orang otomatis toleran,” kata Gus Baha’.  
 
“Tapi bukan karena kita berpikir sangat liberal atau meninggalkan syariat. Nah, pemikiran model begini jika dipakai teman-teman NU itu relatif diterima (masyarakat) karena ta’bir-nya ada dalam kitab-kitab kuning seperti Ihya’ dan Bidayah,” sambungnya.
 
Menurut dewan ahli tafsir nasional ini, dengan pemahaman seperti itu dia meyakini akan lebih mudah diterima. Daripada memaksakan pemikiran-pemikiran yang dianggap terlalu Barat, misalnya, itu hak masing-masing atau karena kita cuek.
 
“Kita menjadi keras itu tadi. Misalnya, karena politik indentitas. Ini ndak qunut pasti wahabi. Tapi kalau kita mengakui madzahibul arba’ah (empat imam mazhab), mestinya kan biasa saja melihat perbedaan itu, apalagi karena kitabnya juga masih cukup untuk menganalisis,” paparnya.
 
Dalam kesempatan yang sama, Alissa Wahid berharap, Majma Buhuts an-Nahdliyyah yang digelar di pesantren asuhan KH Muadz Thohir ini ke depan memberi ruang lebih kepada kalangan alimat (ulama perempuan) dan tokoh perempuan.   “Tentu, saya dan Bu Nyai Hindun Nuruddin sudah menyampaikan langsung kepada KH Mustofa Bisri untuk menambah tokoh-tokoh perempuan NU untuk sesi selanjutnya,” kata Alissa Wahid.
 
Majma Buhuts an-Nahdliyyah adalah forum rembuk yang telah digelar tiga tahun silam di Leteh Rembang, Jawa Tengah. Saat itu, hadir pula kiai sepuh KH Maemoen Zubair. ​​​​​​​

Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Muiz