Tangerang Selatan, NU Online
Penulis buku Masterpiece Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie atau Gus Milal mengatakan, para ulama Nusantara memahami khilafah bukanlah suatu sistem yang tunggal. Dalam sejarahnya, misalnya khulafaur rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan lainnya memiliki ‘model khilafah’ yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya.
“Ada banyak tafsir soal khilafah,” kata Gus Milal dalam diskusi di Sekretariat Islam Nusantara (INC) di Tangerang Selatan, Sabtu (14/7).
Dia menyebutkan, khilafah akan terus menjadi tema dan wacana yang diperjuangkan kelompok Islam yang rindu akan romantisme Islam zaman dahulu. Terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani.
“Umat Islam di berbagai penjuru dunia menyikapinya (keruntuhan Usmani) berbeda-beda. Ada yang ingin mengembalikan sistem khilafah, ada yang mengusulkan Pan-Islamisme, Pan-Arabisme, dan lainnya,” terangnya.
Alumni Universitas Indonesia ini menegaskan, karena sistem khilafah itu tidak tunggal dan hingga hari ini masih diperdebatkan maka sistem tersebut tidak bisa diwujudkan, meski di negara-negara yang mayoritas pendudukan Muslim seperti Indonesia misalnya.
Menurutnya dia, umat Islam Indonesia tidak terlalu menghiraukan apakah sistem politik yang dipakai khilafah atau tidak. Bagi umat Islam di Indonesia, yang terpenting adalah mewujudkan negara yang aman –apapun itu sistemnya asal tidak melanggar ajaran Islam- sehingga mereka bisa menjalankan syariat Islam dengan baik.
Di samping itu, imbuhnya, yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga jejak sejarah umat Islam seperti makam Nabi Muhammad dan lainnya. Sehingga umat Islam memiliki bukti sejarah yang jelas.
Persoalan khilafah menjadi perdebatan yang tajam antara satu kelompok umat Islam dengan yang lainnya. Sebagian menilai bahwa khilafah bersifat pasti (qath’i) sehingga harus diterapkan. Sementara sebagian yang lainnya menilai bahwa khilafah adalah ijtihadi sehingga bersifat bukan keharusan (opsional). (Muchlishon)