Nasional

Generasi Muslim Millenial Harus Kembalilkan Marwah Islam Nusantara

Rab, 20 November 2019 | 14:30 WIB

Generasi Muslim Millenial Harus Kembalilkan Marwah Islam Nusantara

Dekan Fakultas Ushuludin Institut Ilmu Qur’an (IIQ) Jakarta, Muh Ulinnuha (pakai batik) saat mengisi materi pada kegiatan Millenial Youth Camp for Moderate Leader di Bogor Jawa Barat, Rabu (20/11) sore. (Foto: NU Online/Rahman)

Bogor, NU Online

Perkembangan teknologi yang pesat berpotensi menggeser peradaban umat manusia di dunia, termasuk peradaban masyarakat dalam beragama. Teknologi informasi yang berkembang di era digital harus dapat dikendalikan agar tidak berdampak buruk terhadap peradaban mansusia.

 

Maraknya masyarakat Indonesia yang belajar agama di media sosial bermuara pada pemahaman agama yang keliru dan cenderung bertolak belakang dengan jatidiri bangsa, yaitu bangsa yang terbuka, saling menghargai, saling asah asih asuh serta saling tolong menolong.

 

Demikian diungkapkan Dekan Fakultas Ushuludin Institut Ilmu Qur’an (IIQ) Jakarta, Muh Ulinnuha saat mengisi materi pada kegiatan Millenial Youth Camp for Moderate Leader di Bogor Jawa Barat, Rabu (20/11) sore.

 

Menurutnya, belakangan banyak anak Indonesia yang belajar di media sosial kemudian cenderung salah kaprah dalam memahami ajaran agama. Termasuk banyak warga Indonesia yang belajar ke luar negeri, lalu saat kembali ke Indonesia prilaku dan pemikirannya berbeda.

 

“Mereka kerap menolak Pancasila serta menyalahkan ajaran Islam Nusantara yang sudah diyakini kebanyakan masyarakat Indonesia sejak ratusan silam,” ujarnya.

 

Ulinnuha menambahkan, generasi millenial harus mau mengembalikan marwah Islam Nusantara agar tidak salah dimaknai oleh negara-negara Islam lain. Islam Indonesia adalah Islam yang mengarus utamakan moderasi beragama, toleransi dan kemanusiaan.

 

“Budaya Muslim Nusantara itu, diantaranya mengaplikasikan ajaran agama sesuai dengan alam pikir, karakter dan konteks ke-Indonesiaan atau ke Nusantaraan. Makanya kemanapun warga Indonesia tinggal atau menggali ilmu, saat kembali ke Indonesia gayanya jangan seperti gaya negara asing karena itu tidak baik sekalipun gaya negara-negara Timur Tengah. Soal jatidiri dan ideologi kita jangan berubah tapi soal wacana kita harus global,” katanya.

 

Ia menjabarkan, Muslim di Nusantara itu adalah Muslim yang membaca serta memahami substansi ajaran Islam dengan baik. Problem saat ini, ditemukan generasi yang belajar agama setengah-setengah.

 

Mereka tidak memahami nilai ajaran Islam karena memposisikan internet sebagai sumber belajar agama. Di sisi lain, kelompok masyarakat itupun akhirnya tidak bisa menerima bahwa keberagaman merupakan bagian dari substansi dari ajaran agama.

 

“Mereka tidak bisa membedakan aspek furu’iyah-nya serta ushul-nya. Saya ambil contoh dalam Islam di setiap segmen dibagi atas aqidah, syariah muamalah atau akhlak. Tiga aspek ini ada furuiyah-nya, ada ushul-nya. Misalnya aqidah atau teologi, ushul itu percaya kepada Allah tapi soal dekripsi tentang tuhan itu furu’,” ujarnya.

 

Kontributor: Abdul Rahman Ahdori

Editor: Ibnu Nawawi