Nasional

Gagahnya Santri Darul Fallah Bogor Menjadi Petani

Ahad, 4 Agustus 2019 | 21:00 WIB

Gagahnya Santri Darul Fallah Bogor Menjadi Petani

Santri Darul Fallah Bogor mempelajari pertanian (Foto: Fb Pesantren Darul Fallah)

Upaya mendekatkan santri pada kemandirian telah digalakkan sejak lama. Salah satunya di Pesantren Darul Fallah Ciampea, Bogor, Jawa Barat. Ratusan santri asal Jawa Barat, Banten, Lampung, Palembang, Riau, dan daerah lainnya ditempa di Pesantren Pertanian Darul Fallah.
 
Nunu Ahmad An-Nahidl, dalam buku Top 10 Ekosantri Pionir Kemandirian Pesantren terbitan Puslitbang Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2017, menyebutkan dari sisi nama saja, Pesantren Darul Fallahjelas ingin mengembangkan sebuah visi pendidikan yang lebih spesifik. Bukan hanya pendidikan dan dakwah semata, tulis Nunu, melainkan pengembangan masyarakat.
 
"Di sini santri dan masyarakat menjadi pelaku langsung dalam upaya penguatan ilmu pengetahuan dan keterampilan tentang pertanian dan kewirausahaan," tulis Nunu pada halaman 63 buku yang penyuntingannya dikerjakan oleh Achmad Syalaby Ichsan.

Nunu juga menuliskan, sebagaimana pesantren pada umumnya yang ingin membentuk Muslim yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia, begitu pula Pesantren Darul Falah. Pondok ini secara khusus ingin melahirkan umat Muslim yang mandiri. Kemandirian menjadi nilai dasar dan karakter penting yang niscaya dimiliki oleh lulusan pesantren dalam konteks peningkatan harkat kehidupan diri pribadi, keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini, masih kata Nunu, penegakan agama (iqomatuddin) akan lebih kuat dan kokoh manakala dilakukan oleh para lulusan pesantren yang kreatif, inovatif dan mandiri.
 
Personifikasi santri yang mandiri secara ekonomi adalah cita-­cita luhur KH Sholeh Iskandar, dan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Pesantren Pertanian Darul Fallah, antara lain fokus kepada bidang pertanian.  Kemampuan santri mengelola ranah pertanian merupakan media penting untuk melakukan dakwah bil­hal. Santri pun dituntut untuk terus mengembangkan kemampuannya dalam menjaga kemandirian agar dia dapat bermanfaat lebih banyak bagi umat dan bangsa.
 
Dalam buku tersebut, Nunu meneruskan, paling tidak terdapat tiga upaya dan aktivitas yang dilakukan santri Pesantren Pertanian Darul Fallah untuk meraih kemandirian, yaitu praktik pertanian, praktik magang, dan program pascamagang. Tiga hal itu menjadi modal dasar yang diberikan pesantren agar santri siap menapak jejak kehidupan.
 
Melatih Santri Mandiri
 
Nunu mengakui, menumbuhkan semangat kemandirian di kalangan santri bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana, bahkan bisa dikatakan berat. Sebagai contoh, membiasakan santri ke kebun setiap pagi itu perlu upaya yang luar biasa. Dahulu, sebelum mengikuti kurikulum Kementerian Agama, santri Darul Fallah diharuskan ke kebun atau lahan pertanian milik pesantren setiap hari di pagi hari. Kewajiban itu mengalami penyesuaian waktu setelah pesantren mulai mengadopsi kurikulum Pemerintah.
 
Saat ini santri yang duduk di kelas X dan XI, sebanyak tiga kali dalam seminggu masih diharuskan ke kebun atau lahan pertanian setiap pagi. Selepas pengajian Tafsir Jalalain yang diikuti seluruh santri pada bakda Subuh, sebagian para santri mulai digerakkan menuju kebun pada pukul 06.00 WIB. Posisi kebun rata­-rata tidak terlalu jauh dari pesantren, sehingga dapat ditempuh dengan jalan kaki sambil berolahraga. Pesantren juga memiliki sejumlah lahan di beberapa wilayah sekitar pesantren sebagai tempat praktik pertanian.    

"Selama kisaran satu jam, para santri dididik praktik pertanian sesuai dengan programnya pada setiap semester di bawah bimbingan guru praktik. Misalnya, pada semester ganjil Tahun Pelajaran 2016-­2017, santri kelas X di diberikan pelatihan tentang menanam sayuran atau palawija. Mereka pun membawa berbagai perlengkapan tani seperti pacul dan lainnya menuju kebun. Di sana santri diajarkan tata cara menanam sayuran atau palawija. Jenis praktik pertanian yang dipelajari santri akan berganti komoditasnya pada setiap semester, seperti menanam bayam, cabe, budidaya lele, memelihara ternak dan lainnya," sebut Nunu pada halaman 64.
 
Lalu apa yang menjadi alasan para santri dipaksa untuk bertani? Pertama, tujuan dari kegiatan ini untuk melatih dan membiasakan santri dengan lingkungan pertanian. Hal ini dipandang penting, mengingat visi dan misi pesantren adalah melaksanakan pembelajaran yang mengintegrasikan nilai­nilai keislaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemandirian dalam berwirausaha.
 
Dalam pembiasaan praktik pertanian dimana santri digerakkan ke kebun pada pagi hari itu, pesantren juga sesungguhnya sedang melaksanakan pembelajaran yang mendorong santri peduli terhadap lingkungan di mana santri berada, terutama setelah mereka kembali ke tempat masing-masing. Pihak pesantren berharap agar santri alumni Pesantren Darul Fallah memiliki kesadaran penuh untuk kembali ke kampung halamannya. Mereka bisa berperan serta membangun daerahnya dengan mengelola dan mengembangkan berbagai kecakapan dan keterampilan berdasarkan ilmu dan pengalaman yang diperolehnya di pesantren.
 
Alasan kedua, sambung Nunu dalam tulisan yang berdasar penelitian awal 2017, santri diberikan pengalaman langsung tentang praktik bertani dengan belajar menanam kangkung, menanam cabe, dan membudidayakan lele, misalnya. Praktik ini tidak diarahkan untuk memperoleh nilai keuntungan (profit), melainkan lebih ditekankan kepada prosesnya ketimbang hasil yang didapatkan.

Proses atau kondisi di mana santri berupaya secara terus­-menerus untuk menghasilkan sesuatu dengan fokus kepada target pencapaian adalah ruang pembelajaran yang luas untuk menjadi dan menghasilkan apa pun. Sementara hasil praktik pertanian santri itu sendiri bahkan bisa saja tidak terlihat atau gagal. Pembiasaan yang dialami santri memberikan pengalaman dan pengaruh yang luar biasa terhadap pengetahuan santri tentang pertanian.
 
Faktor ketiga, praktik pertanian akan melatih kedisiplinan santri. Faktanya, tidak hanya santri yang merasa segan atau berat untuk pergi ke kebun, bahkan perasaan serupa juga terkadang menimpa guru praktiknya. Di sinilah semangat dan kedisiplinan tampaknya menjadi ujian yang berharga. Tidak hanya kepada santri, bahkan juga gurunya. Jika orang lain berangkat ke kantor di pagi hari, justeru pada saat yang bersamaan, guru dan santri Darul Fallah pergi ke kebun. 

Pengalaman ke kebun terbukti memberikan pengaruh yang luar biasa, baik secara mental dan terutama bertambahnya pengetahuan santri. Hal ini pasti dirasakan langsung oleh santri setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di Darul Fallah dan mulai mengembangkan diri di tengah masyarakat. Bergaul dengan berbagai pihak di luar pesantren. 
 
Editor: Kendi Setiawan