Nasional

Fatayat NU Sikapi Putusan MK tentang Batas Usia Perkawinan

Jum, 13 September 2019 | 12:45 WIB

Fatayat NU Sikapi Putusan MK tentang Batas Usia Perkawinan

Sekum PP Fatayat NU, Margaret saat memberikan sambutan pada FGD di Hotel A-One, Kebun Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (13/9). (Foto: NU Online/Husni Sahal)

Jakarta, NU Online
Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'Sinergi Pemuda dalam Menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Batas Usia Perkawinan'. Kegiatan ini diselenggarakan di Hotel A-One di Kebun Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (13/9).

Diskusi itu dihadiri sejumlah pembicara, seperti Sekretaris LBM PBNU Ustadz H Sarmidi Husna, Hakim Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams, Kepala Subdit Kesehatan Usia Reproduksi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (RI) Lovely Daisy, dan Ketua KPAI Susanto.

Sekretaris PP Fatayat NU Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan bahwa organisasinya telah lama bersinergi dengan berbagai organisasi perempuan lintas iman menyoroti pasal 7 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Kita sudah beberapa kali melakukan upaya, mendorong pasal ini (agar direvisi),” kata Margaret.

Upaya itu mulai menampakkan hasilnya ketika pada 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan batas pernikahan anak perempuan 16 tahun adalah inkonstitusional. MK memerintahkan DPR untuk merevisi UU Perkawinan.

“Kita memberikan apresiasi luar biasa kepada MK yang telah memberikan peluang itu untuk melakukan revisi terhadap pasal 7 yang (sekarang) dilempar ke DPR, dan hari ini masih dalam pembahasan di DPR,” ucapnya.

Menurutnya, meskipun DPR telah menyetujui ditetapkannya batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun, untuk mencegah terjadinya fenomena perkawinan anak, ia mengaku perjuangannya belum selesai.

“Meskipun demikian, perjuangan ini belum usai. Masih banyak yang harus kita lakukan, pengawasan, Oleh karena itu kita harus tetap bergandengan tangan, sinergi,” ucapnya.

Langkah yang harus dilakukan setidaknya ada tiga hal. Pertama, selalu mengawal agar batas usia perkawinan minimal 19 tahun tidak berubah sampai benar-benar ditetapkan dalam UU. Kedua, terus mengupayakan agar tidak memberikan pasal-pasal yang berpeluang terjadinya perkawinan anak.

Ketiga, ketika nanti telah ditetapkan dalam UU, semua pihak bersama-sama mengawal sampai implementasinya, termasuk memberikan penguatan di masyarakat dan aparat terkait agar benar-benar terlaksana, sehingga tidak terjadi perkawinan anak.

“Melalui FGD ini, kita ingin bersama-sama menguatkan baik dari sisi pemikiran, gerak langkah sinergi kita bersama untuk terus mengawal, stop perkawinan anak di Indonesia,” harapnya.

Diskusi yang berlangsung sekitar tiga jam ini diikuti dari berbagai lembaga, seperti Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, PP Muslimat NU, Kopri PB PMII, PP IPPNU, Wanita Budhis Indonesua (WBI), MUI Bidang Perempuan dan Remaja,  Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), PP Nasyiatul Aisiyah, PP Aisiyah, dan dari Baha'i.

Pewarta: Husni Sahal
Editor: Fathoni Ahmad