Nasional

Empat Langkah Gusdurian Tanggulangi Ekstremisme dan Terorisme

Kam, 1 April 2021 | 09:15 WIB

Empat Langkah Gusdurian Tanggulangi Ekstremisme dan Terorisme

Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Jaringan Gusdurian memiliki empat dimensi perubahan untuk mengantisipasi sekaligus menanggulangi terjadinya ekstremisme dan terorisme di negeri ini. Keempat dimensi itu adalah teologis, kerja-kerja di masyarakat akar rumput, kebijakan negara, dan penguatan peran organisasi masyarakat sipil.


“Yang paling pertama tentu dimensi teologis. Memperkuat ajaran agama yang membawa prinsip kasih sayang dan perdamaian, basisinya adalah keadilan serta pembebasan dari penindasan,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, saat dihubungi NU Online melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu. 


Menurutnya, terdapat banyak penyebab orang melakukan aksi teror. Di antaranya karena dilatari pemahaman keagamaan yang sempit, impitan ekonomi, dan sikap mayoritarianisme atau menganggap diri sebagai kelompok mayoritas di suatu daerah sehingga merasa berhak melakukan apa saja. 


Dimensi perubahan kedua Gusdurian adalah kerja-kerja kemasyarakatan yang dilakukan di akar rumput. Caranya dengan menumbuhkan sikap perdamaian dan penerimaan satu sama lain, welas asih, serta membangun sinergisitas antarwarga.


Ketiga, dimensi kebijakan. Alissa menegaskan, berbagai kebijakan yang diambil oleh negara atau pemerintah dengan seluruh aparaturnya harus mendorong bertumbuhnya sikap adil dan non-diskriminasi.


Ia mengilustrasikan satu kasus yang terjadi di daerah. Misalnya, ada seorang bupati yang baru terpilih dan ingin mendapatkan dukungan lalu seketika itu mendekati kelompok-kelompok yang berpotensi menyebarkan sikap permusuhan.


“Jika begitu, maka sebetulnya bupati tersebut seperti sedang membesarkan anak macan. Lalu ketika dia membuat kebijakan yang memberikan previlej atau favoritisme yang diberikan kepada kelompok tertentu, maka dia sedang membesarkan anak macan,” tegas Alissa.


“Jadi, dimensi kebijakan publik ini sangat penting. Memastikan agar para kepala daerah itu memang berpikir Bhinneka Tunggal Ika dan konstitusional,” lanjutnya.


Sementara dimensi keempat adalah penguatan peran organisasi atau kelompok masyarakat sipil. Sebab menurut Alissa, kelompok masyarakat sipil inilah yang giat melakukan kerja-kerja pendampingan masyarakat di akar rumput. 


“Yang mengingatkan negara juga (kelompok) masyarakat sipil. Kalau tidak, mungkin mayoritarianisme yang ada di tingkat lokal itu yang tidak tampak bahaya malah bisa menjadi bahaya. Ini juga kerja yang harus kita perkuat,” imbuh Psikolog jebolan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini. 


Ekstremisme tidak akan hilang


Alissa menyebut, ekstremisme atau terorisme tidak akan pernah bisa hilang sepenuhnya selama masih ada manusia di muka bumi. Namun, ia berharap agar sikap ekstrem yang mengedepankan kebencian harus diperkecil, sehingga risiko yang terjadi juga akan menjadi kecil.


“Negara harus mampu meminimalisasi risiko-risiko kebiadaban aksi-aksi terorisme, itu penting. Jadi harapanku tentu saja Indonesia adil makmur dan sentosa, itu bisa terwujud. Makmur sentosa itu bisa terwujud kalau tidak ada aksi ekstremisme, terorisme. Landasannya adalah keadilan,” tegasnya.


“Karena perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi,” tutup Alissa, mengutip ungkapan Gus Dur yang sangat masyhur itu.


Untuk diketahui, Indonesia dikejutkan dengan dua peristiwa terorisme yang belakangan terjadi. Pertama, aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, pada Ahad (28/3) lalu.


Kedua, aksi penyerangan seorang perempuan terduga teroris di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) yang sempat melakukan baku tembak dengan polisi jaga di Gedung Utama Mabes Polri dan akhirnya berhasil dilumpuhkan. Kejadian ini baru saja terjadi pada Rabu (31/3) kemarin. 


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad