Nasional

Dua Hal Ini Sebabkan Tarekat Susah Berkembang di Jakarta

NU Online  ·  Ahad, 30 Desember 2018 | 16:45 WIB

Jakarta, NU Online
Mudir Idaroh Wustho Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu'tabarah An Nahdliyyah (Jatman) DKI Jakarta KH Muhammad Danial Nafis mengemukakan dua penyebab tarekat di Jakarta susah berkembang.

Pertama, sejak awal keberadaan Islam di Jakarta, memiliki mufti yang berpandangan berbeda dengan mufti yang berada di daerah lain, seperti di Jawa Timur atau Jawa Tengah.

"Mungkin kalau di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat orang mengenal tarekat Qadiriyah familiar, tarekat Tijaniyah familiar, Syadziliyah popular, Idrisiyah banyak, Qadiriyah wan Naqsyabandi banyak, tapi kalau di Jakarta memang agak sulit masuk karena memang tradisi sejak awal, mufti awal di Jakarta sedikit berbeda pandangannya tentang tarekat," kata Kiai Nafis di halaman Gedung PWNU DKI Jakarta, Ahad (30/12)

Kedua, banyak orang menyalahgunakan tarekat dengan menganggapnya sebagai sebuah gerakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

"Banyak yang menyalahgunakan, mengatasnamakan tarekat, sufisme, tasawuf, menganggap tarekat itu adalah sebagai gerakan menyimpang, dianggap sebagai ahlul bid'ah. Ini yang mesti kita luruskan," ucapnya.

Padahal, sambungnya, para ulama besar seperti Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qodir al-Jilani menyatakan bahwa tarekat merupakan implementasi tasawuf dan taswauf ialah jejak utama dari ihsan. Sementara ihsan menjadi pilar agama, selain iman dan islam.

Oleh karena itu, lanjutnya, Imam Ghazali sampai mewajibkan umat Islam untuk bertarekat. Ia mempersilakan untuk bertarekat apa saja, selama mu'tabarah atau mempunyai sanad yang bersambung hingga Rasulullah.

"Imam Ghazali mewajibkan bagi seorang Muslim dan Muslimat mengambil tarekat sufiyah. Ini penting. Yang penting tarekatnya adalah tarekat al-mutabarah, yang sanadanya bersambung kepada hadrah rasulullah sallallahu alaihi wasallam," ucapya. (Husni Sahal)Â