Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mochammad Maksum Mahfoedz memaparkan sebab terjadinya ketimpangan harga hasil pertanian di desa yang berbeda jauh setelah didistribusikan ke kota.
Pertama, petani kecil tidak mempunyai akses ke pasar. Oleh karenanya, persimpangan harganya bisa jauh sekali.
"Sebut saja (di pasar) Kramat Jati (Jakarta) harga bisa tinggi sekali, (lalu bandingkan) gak usah jauh-jauh di Brebes, itu bisa separuhnya (jauh lebih murah), padahal cuma berjarak beberapa kilometer. Nah kenapa begitu, karena petani kecil tidak punya bargaining power dan dibiarkan begitu saja oleh negara," kata Maksum di Gedung PBNU, Selasa (9/1).
Pria yang juga Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gajah Muda Yogyakarta ini menyayangkan ketidakhadiran negara dalam persoalan pertanian para petani kecil yang tidak mempunyai daya tawar.
"(Negara) sama sekali tidak hadir dalam urusan penanggulangan rakyat tani miskin. Dibiarkan petani kecil itu beratarung dengan tengkulak, dengan pasar besar, pasti dengan konsumen. Mereka gak punya daya tawar," jelasnya.Â
Kedua, biaya produksi mahal sekali, sementara para petani kecil tidak mampu menjangkaunya. Padahal menurutnya, pemerintah harusnya memproteksi produksi petani kecil.Â
"Kita (pemerintah) harusnya bersyukur masih ada yang mau nanam, sehingga ada produksi, sehingga harga murah, kita bisa menikmati makanan sehat. Sementara negara tidak bisa menyediakan lapangan kerja. Kalau negara bisa menyediakan lapangan kerja, bagus. Mereka akan bekerja di lapangan kerja yang disediakan, tapi gak ada lapangan kerja, sehingga mereka lahan sejengkal pun tetap digeluti untuk usaha tani, tetapi tidak pernah mengentaskan mereka dari kemiskinan," terangnya.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah seharusnya mampu memproteksi sistem produksi atau memperoteksi pasar, terlebih memproteksi keduanya.
"Caranya tata niaga diatur agar tidak mencekik konsumen dan juga tidak membunuh petani," jelasnya. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)