Nasional

Dosen Unusia Sebut Kritik Mahasiswa untuk Pejabat Publik Sebagai Kewajaran

Kam, 16 September 2021 | 08:00 WIB

Dosen Unusia Sebut Kritik Mahasiswa untuk Pejabat Publik Sebagai Kewajaran

“Tidak masalah (mahasiswa kritis) karena levelnya seperti itu. Kalau (mahasiswa) hanya membentangkan poster (berisi kritik) seperti kejadian di Solo, kemudian ditangkap, maka itu sudah berlebihan,” tegasnya.

Jakarta, NU Online

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Muhammad Afifi menyayangkan aksi penangkapan mahasiswa akibat menyuarakan kritik kepada Presiden Joko Widodo. Menurutnya, mahasiswa yang melancarkan kritik kepada pejabat publik merupakan hal wajar sehingga tidak perlu ditangkap.


“Tidak masalah (mahasiswa kritis) karena levelnya seperti itu. Kalau (mahasiswa) hanya membentangkan poster (berisi kritik) seperti kejadian di Solo, kemudian ditangkap, maka itu sudah berlebihan,” tegasnya kepada NU Online, Rabu (15/9/2021).


Ia menegaskan, para pejabat publik termasuk Presiden Jokowi harus mampu mendengar kritik dari mahasiswa. Sebab itulah yang diamanahkan oleh konstitusi negara Indonesia. Sementara aparat keamanan dan penegak hukum pun wajib mengayomi seluruh masyarakat.  


Namun jika mahasiswa dalam menyuarakan aspirasi terdapat tindakan-tindakan melanggar hukum maka itu tidak bisa ditoleransi, seperti provokasi, perusakan fasilitas umum, dan melakukan penghinaan. 


“Prinsipnya la udwāna illā ala zhālimin, siapa pun yang melakukan tindak pidana maka tidak diperkenankan. Tapi kalau (mahasiswa) hanya melakukan refleksi gagasan dan ingin diketahui oleh presiden sebagai pejabat publik maka tidak selayaknya ditangkap. Kecuali kalau ada niat untuk menghina,” tutur Wakil Ketua Pengurus Pusat (PP) Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) itu. 


Lebih lanjut, Afifi menjelaskan dampak dari penangkapan akibat menyampaikan pendapat. Di antaranya masyarakat akan beranggapan bahwa penyuaraan aspirasi bernada kritik bakal berpotensi hal serupa yakni ditangkap oleh polisi.


“Justru di situ akan membangkitkan anarkisme, kita khawatir begitu,” ujar Dekan Fakultas Sosial-Humaniora Unusia Jakarta itu. 


Di perguruan tinggi NU, katanya, selalu diciptakan ruang bagi mahasiswa. Membahas berbagai persoalan secara terbuka bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) PTNU. Ruang itu diciptakan agar para mahasiswa dapat bebas mengekspresikan dan mengaktualisasikan pemikiran mereka terhadap situasi yang sedang terjadi.


“Kita harus ciptakan ruang untuk membentuk suasana dan negara yang demokratis. Kebebasan berpendapat dan berekspresi harus dilindungi, tetapi dengan catatan kebebasan itu dibatasi oleh kebebasan orang lain,” ungkapnya.


“Jadi kita hidup bersama-sama dan kita harus sama-sama menciptakan suasana saling menghormati dan saling toleransi. Itulah prinsip-prinsip NU yaitu tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), i’tidal (berprinsip), dan amar ma’ruf nahi munkar bil ma’ruf,” tutur Afifi. 


Dihubungi secara terpisah, Akademisi Hukum Unusia Jakarta Muhtar Said menyampaikan bahwa masyarakat memiliki tugas untuk melakukan pengawasan secara objektif. Hal tersebut harus dilakukan oleh masyarakat di tengah dominasi para buzzer (penggaduh) di media sosial yang kerap mengeluarkan pendapat tidak ilmiah dan bahkan tidak rasional.


“Nah demokrasi ini harus diisi dengan orang-orang yang memang memiliki pemikiran objektif dan ilmiah,” tegas Kaprodi Ilmu Hukum Unusia Jakarta itu.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Alhafiz Kurniawan