Nasional

Densus 99 GP Ansor: Intoleransi Jadi Bahan Baku Radikalisme dan Terorisme

Kam, 1 April 2021 | 09:45 WIB

Densus 99 GP Ansor: Intoleransi Jadi Bahan Baku Radikalisme dan Terorisme

Komandan Detasemen Khusus (Densus) 99 Asmaul Husna Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nuruzzaman. (Foto: dok. istimewa)

Jakarta, NU Online

Komandan Detasemen Khusus (Densus) 99 Asmaul Husna Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nuruzzaman menegaskan bahwa pemahaman keagamaan yang cenderung intoleran telah menjadi bahan baku dari tindakan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.


Karena itu, seluruh masyarakat diminta untuk waspada terhadap pemahaman keagamaan yang mengajarkan intoleransi atau ajaran kebencian kepada orang lain. Sebab pelaku teror, baik di Gereja Katedral Makassar maupun di Mabes Polri, faktor utamanya adalah dipicu karena paham keagamaan yang intoleran.


“Tentu kita harus mewaspadai. Masyarakat  juga harus diyakinkan bahwa jangan sampai percaya terhadap tokoh agama yang mengajarkan kebencian kepada orang lain karena agama tidak mengajarkan kebencian pada orang lain,” ungkap Kang Zaman, sapaan akrabnya, kepada NU Online melalui sambungan telepon, pada Kamis (1/4) sore.


Hal lain yang menjadi perhatian bersama bagi masyarakat adalah dengan memberikan dukungan kepada aparat negara, baik kepolisian atau Densus 88, untuk menindak para pelaku teror di negeri ini.


Ditegaskan, pelaku teror di Makassar dan Mabes Polri itu merupakan generasi milenial yang banyak menghabiskan waktu di media sosial. Ia meyakini, kedua pelaku teror tersebut telah terpapar pemahaman intoleran melalui kanal-kanal yang tersedia di berbagai platform media sosial.


“Kalau kita mau jujur (pelaku teror) ini adalah generasi milenial. Artinya, kita tahu bahwa generasi milenial itu adalah generasi yang waktunya banyak dihabiskan di media sosial. Saya yakin mereka terpapar di media sosial,” terang Kang Zaman.


Membangun narasi alternatif di media sosial


Ia menegaskan, persoalan terorisme yang berasal dari pemahaman keagamaan intoleran itu merupakan tanggung jawab bersama. Karenanya, semua pihak harus dengan serius melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan membangun narasi alternatif di media sosial.
 

Tujuannya agar pemahaman keagamaan di media sosial tidak dimonopoli kelompok-kelompok tertentu yang mengajarkan kekerasan dalam mengekspresikan pemahaman keagamaan. Ekspresi keagamaan seperti itu, tentu diawali dari sikap intoleransi yang bersumber dari konten-konten di media sosial.


Narasi alternatif di media sosial, lanjutnya, bisa berupa narasi keagamaan dan kebangsaan yang mampu memberikan ajaran kebaikan kepada orang lain. Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, selama ini giat membangun narasi yang mengajarkan agar dakwah keagamaan dilakukan dengan cara yang rahmatan lil alamin.


“Bukan mendakwahkan dengan cara membenci kepada orang lain. Itu narasi-narasi itu yang harus terus dilakukan. Narasi-narasi positif kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan,” lanjut Kang Zaman.


Narasi masa kenabian


Kang Zaman menjelaskan pula bahwa narasi intoleran yang selama ini berkembang di media sosial, selalu saja tentang peperangan bersifat defensif atau bertahan yang dilakukan Nabi Muhammad. Namun sesungguhnya, peperangan yang terjadi ketika itu hanya terjadi selama 80 hari dari 23 tahun masa kenabian.


“Kita bisa lihat, produksi pengajian, buku, dan sejarah yang dimunculkan (di media sosial) adalah peperangan terus. Padahal ada 23 tahun masa kenabian. Artinya ada yang tidak diungkap secara baik, apa yang dilakukan oleh Nabi karena dimunculkan hanya peperangannya saja,” ujarnya.


“Nah itu kan narasi-narasi seperti itu yang harus dimunculkan ke publik. Bahwa nabi tidak hanya perang. Karena Nabi hanya mau berperang jika dalam keadaan mendesak dan dari 23 tahun itu hanya 80 hari saja,” imbuh Kang Zaman.


Ia berharap, seluruh elemen bangsa di negeri ini harus bahu-membahu dan bersama-sama meminimalisasi terjadinya tindak terorisme. Sebab tugas tersebut bukan hanya menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah.


“Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme ini bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi tanggung jawab seluruh elemen bangsa ini. Mulai dari partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh masyarakat, dan masyarakat. Kita harus bersama-sama mendorong agar terorisme atau ekstremisme segera hilang di republik ini,” katanya.


Sebelumnya, Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute H M Imdadun Rahmat menyatakan bahwa pencegahan tindak terorisme memerlukan upaya bersama lintas sektor. Aksi teror yang belakangan terjadi pun dinilai menjadi momentum pemerintah untuk segera melaksanakan Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) yang telah dikeluarkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021.


“RAN PE ini melibatkan berbagai kementerian, lembaga pemerintah, dan masyarakat. Ini menjadi penting karena RAN PE menjadi guidance (pemandu) bagi kerja bersama lintas kementerian dan lembaga negara (dalam upaya penanggulangan ekstremisme),” kata Imdad, kepada NU Online, kemarin.


Kerja bersama seperti ini, menurutnya, penting agar institusi-institusi negara bisa bersama-sama menangani masalah serius ini secara komprehensif dengan berbasis fungsi kelembagaannya masing-masing.


“Penanganan ekstremisme berbasis kekerasan ini bisa lebih holistik dan komprehensif, tidak sektoral dan sporadis,” tutur Imdad.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad