Nasional

Cegah Perdagangan Anak, Gerakan Sosiokultural Harus Dioptimalkan

Sel, 30 Juli 2019 | 16:00 WIB

Cegah Perdagangan Anak, Gerakan Sosiokultural Harus Dioptimalkan

Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi, Ai Maryati Solihah. (istimewa)

Jakarta, NU Online
Perdagangan anak masih banyak terjadi di Indonesia. Tidak hanya antarkota, tetapi juga antarnegara. Anak-anak dikirim untuk mengisi ruang-ruang kerja seperti asisten rumah tangga (ART) dan sebagainya secara ilegal.
 
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, mengungkapkan, orang tua yang bermigrasi membuat anak-anak rentan dieksploitasi. Tak jarang juga, mereka yang pergi untuk memperbaiki kehidupan justru berakhir pada kematian.
 
"NTT (Nusa Tenggara Timur) menjadi lokus prioritas dalam pencegahan dan program pengawasan karena memang selalu berakhir dengan peti jenazah," katanya kepada NU Online pada Selasa (30/7).
 
Hal itu menjadi tantangan besar pemerintah hari ini. Karenanya, pemerintah memiliki rancangan aksi nasional meliputi berbagai kementerian terkait. Ai menilai, perdagangan anak banyak terjadi karena potensi sumber dayanya yang rendah mengingat keduanya merupakan hal yang tidak terpisahkan.
 
"Kalau saya mengamati ada rangkaian yang tidak terpisah antara orang yang bermigrasi mendapat uang banyak dengan kemampuan potensinya sumber dayanya," ujarnya.
 
Pendidikan yang rendah dengan keterampilan yang minim berbanding terbalik dengan animo mereka yang ingin secara cepat mengubah keadaan. Risiko-risiko yang ditimbulkan harus menjadi gerakan sosiokultural. 
 
Menurut Ai, tokoh agama juga memiliki peran pendampingan dalam mencegah perdagangan anak. Gerakan sosiokultural berjalan atas swadaya dan prakarsa masyarakat itu sendiri, tetapi hal itu masih kurang optimal. Untuk itu, gerakan-gerakan sosiokultural ini harus digarap dengan optimal.
 
"Akan tetapi sejauh mana menjadi gerakan local wisdom, jadi antibodi masyarakat sendiri. Mereka punya dukungan moral, etis, sakral, perintah keagamaan pasti sangat relevan. Sayangnya, hal tersebut belum terorganisasi dengan baik,” paparnya. 
 
Di samping itu, lanjutnya, aparat penegak hukum memandangnya bukan sebagai tindak pidana. Sebaliknya, oknum petugas pemerintah turut membantu proses perdagangan anak, misalnya dengan memalsukan dokumen. 
 
“Malah beberapa ASN justru memalsukan dokumen," jelas aktivis Fatayat NU ini.
Dia menjelaskan, ada banyak kerugian yang bakal dialami orang yang diperdagangkan. Mulai dari bayaran yang rendah, keluarganya terlantar, hingga kematian. Belum lagi harus membayar orang yang menyelundupkannya.
 
Oleh karena itu, Ai menambahkan, persepsi aparat hukum harus diubah untuk membuat orang jera melakukan hal tersebut.
Pencegahan perdagangan anak
 
Pencegahan tentu lebih murah biayanya ketimbang penanganan. Hal ini bisa dimulai dari lingkungan terdekat, yakni keluarga. Ai menilai, keluarga merupakan ‘kawah candradimuka’ perlindungan anak.
 
"Karena kerentangan anak yang ditinggal orang tua bekeraja ia menderita kekerasan dan lain-lain," katanya.

Ia mendorong, orang tua sebisa mungkin harus mengontrol pergaulan anak serta memastikan pendidikannya berjalan dengan baik. Dengan itu, maka perdagangan anak akan bisa ditekan. "Pendidikan utuh maka ruang untuk bekerja ke luar negeri dan kota bisa diminimalisasi," jelasnya. (Syakir NF/Muchlishon)