Nasional

‘Estafet’ Putusan MK tentang Batas Usia Pernikahan harus Segera Dilanjutkan

Jum, 14 Desember 2018 | 14:20 WIB

‘Estafet’ Putusan MK tentang Batas Usia Pernikahan harus Segera Dilanjutkan

Ilustrasi menikah muda. Source: pendidikan.id

Jakarta, NU Online
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan mengenai batas minimum usia pernikahan dianggap sebagai sebagai satu langkah penting dalam menekan masalah yang dilahirkan akibat pernikahan anak. Namun begitu, putusan ini perlu dilanjutkan dengan campur tangan lembaga lain dengan sigap. 

Pendapat itu dikemukakan oleh Ai Maryati anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Menurutnya, saat ini, ‘bola’ perubahan ada di tangan DPR yang bertanggung jawab untuk melanjutkan dengan menentukan batas usia menikah bagi perempuan, yang sebelumnya hanya 16 tahun sebagaimana tertuang dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan. 

“Dengan dikabulkannya gugatan ini oleh MK, maka DPR, Pemerintah, CSO (Civil Society Organization) perlu bekerja bersama untuk memunculkan gagasan strategis sehingga perubahan bisa segera direalisasikan,” Ujar Ai Maryati pada NU Online, Jumat (14/12).

Menurutnya, langkah pertama yang harus ditempuh adalah merumuskan batas usia sebagaimana yang diamanatkan oleh MK. DPR bisa menempuh langkah dengan mendengarkan masukan dari masyarakat yang telah melakukan kajian mendalam atas kesiapan usia pernikahan. 

“DPR bisa mengadakan jajak pendapat dengan NGO (Non-Government Organization) yang aktif dalam bidang tersebut. Selain itu perlu juga mendengarkan masukan dari lembaga kesehatan yang selama ini mendata dampak buruk pernikahan usia muda, seperti tingginya angka kematian ibu dan bayi, masalah kesehatan lain seperti stunting dan hal lain, sehingga memperkaya adanya terobosan dalam menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. 

Sederet masalah itu secara umum disebabkan ketidaktahuan dan ketidaksiapan baik secara fisik dan psikis. “Pernikahan anak juga bisa menyebabkan penyakit genetic, kerusakan alat reproduksi, rentannya penyakit seksual menular yang diakibatkan oleh ketidakmengertian,” jelasnya. 

Maka dari itu, ia menyarankan agar DPR perlu mendapat masukan dari berbagai kelompok sehingga bisa mengeluarkan rumusan kebijakan yang baik. 
 
Dalam proses selanjutnya, UU yang baru ini perlu dilanjutkan dan diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah hingga level yang lebih teknis. Sehingga Pemerintah, dalam hal ini Kemenag, dapat membuat Peraturan Menteri untuk pegangan penyelenggara atau petugas pernikahan.

Penyelaggara perkawinan harus dipastikan mendapat informasi dengan seksama sehingga dapat mengimplementasikan aturan tersebut. “Karena dalam banyak kasus para petugas KUA menerima pernikahan di bawah usia karena adanya kasus dispensasi seperti permintaan dari orang tuanya karena hamil duluan (sebelum menikah), atau kedua orang tuanya meninggal. Ini yang diterima KUA,” jelasnya. Padahal, alih-alih menjadi solusi, pernikahan usia dini lebih berpotensi melahirkan masalah lain. 

Ia juga mengimbau kelompok agama untuk tidak memandang pernikahan usia dini sebagai solusi dari kenakalan remaja dan perbuatan dosa. “Jangan terus bilang ‘dari pada dosa lebih baik dinikahkan’. Itu kalimat konservatif yang perlu kita ubah. Karena dari cara pandang progresif pernikahan juga perlu mempertimbangkan masalah kesejahteraan,” lanjutnya.

Ai Maryati mengaku bahwa ia sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pernikahan muda sebagai solusi dari kenakalan remaja. Sebaliknya ia menilai, kenakalan remaja disebabkan karena tidak adanya fasilitas dan edukasi bagi remaja. “Negara seharusnya menyediakan fasilitas kreatif tersebut, baik dalam bentuk eskul, peningkatan minat dan bakat, bukan melulu mikirin cara memergoki mereka yang lagi pacaran lalu mengawinkan mereka,” jelasnya.

Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan tentang batas usia nikah anak perempuan dalam pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan. Menurut MK usia 16 masih masuk dalam kategori anak. Menikah pada usia 16 tahun juga berarti seorang anak kehilangan hak belajar 12 tahun yang diwajibkan negara.

Selain itu, menikah pada usia 16 tahun membuat perempuan sangat rentan menghadapi masalah kesehatan, eksploitasi hingga ancaman kekerasan. Namun MK tak menetapkan usia minimum bagi perempuan untuk menikah dan menyerahkannya pada DPR, dengan batas waktu maksimal tiga tahun. (Ahmad Rozali)