Nasional

Bongsorejo, Perkampungan Kristen Kuno yang Dikelilingi Banyak Pesantren

Jum, 4 November 2022 | 16:30 WIB

Bongsorejo, Perkampungan Kristen Kuno yang Dikelilingi Banyak Pesantren

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Bongsorejo dibangun secara permanen pada tahun 1898 atau telah berusia 124 tahun yang lalu. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)

Jombang, NU Online

Setiap kali mendengar kata Jombang, kebanyakan orang akan langsung mengingat Jombang adalah tempat lahirnya Nahdlatul Ulama (NU). Tak heran, apabila Jombang dijuluki Kota Santri sebab banyaknya santri dari berbagai daerah sebagaimana daerah di Indonesia yang singgah dan bermukim untuk menimba ilmu di pesantren yang ada di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.


Menurut laman Kementerian Agama Kabupaten Jombang, sedikitnya terdapat 222 pondok pesantren di Kabupaten Jombang. Namun, di balik adanya ratusan pesantren itu telah berdiri lama sebuah perkampungan Kristen kuno bernama Bongsorejo. Sebuah Dusun yang terletak di Desa Grogol, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.


Ketika memasuki gerbang Dusun Bongsorejo, pengunjung maupun pengendara yang hanya sekadar melintas akan disuguhi suasana rindang, asri, dan kharismatik. Sebab warga dusun tersebut masih mempertahankan bangunan-bangunan rumah maupun bangunan gereja dengan ciri khas tempo dulu yang syarat sejarah. Ada pula balai pertemuan yang dahulu kala dijadikan sebagai Sekolah Rakyat (SR) yang berada di seberang barat jalan yang semakin mengukuhkan Dusun Bongsorejo memiliki sejarah yang panjang.

 

Gedung serbaguna bekas Sekolah Rakyat Dusun Bongsorejo. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)

 

Menurut Pendeta Tri Kridaningsih, Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Bongsorejo dibangun secara permanen pada tahun 1898 atau telah berusia 124 tahun yang lalu. "Kalau permanennya gereja itu tahun1898, kalau sebelumnya sekitar 1807," jelas perempuan yang akrab disapa pendeta Rida ini.


Hal ini menarik, sebab Jombang sebagai pusat pondok pesantren di tanah Jawa. Di sisi lain juga terdapat kampung atau dusun-dusun yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Termasuk di Dusun Bongsorejo, hampir seluruh penduduknya beragama Kristen, hanya terdapat beberapa warga yang beragama Islam.


Di sebelah selatan Dusun Bongsorejo berbatasan dengan Pondok pesantren Al Urwatul Wutsqo Bulurejo, sebelah utara juga terdapat Pondok pesantren Menara Attaufiq Bogem, tidak jauh ke sebelah barat juga terdapat Pondok pesantren Tebuireng. Belum lagi pondok pesantren yang berada di kawasan Kecamatan Jogoroto, yang mana Dusun Bongsorejo terletak di antara jalan raya penghubung kecamatan Diwek dan Kecamatan Jogoroto, Jombang. Sehingga di kawasan tersebut kegiatan warga dan mobilisasi terbilang ramai.


Dikisahkan Pendeta Rida, sejarah berdirinya perkampungan Kristen kuno tersebut tidak lepas dari kiprah seorang kiai atau sesepuh yang berasal dari Bangkalan, Madura.


"Ada namanya Kiai Klas Waridin dari Bangkalan Madura, setelah dibaptis kemudian babat hutan di wilayah barat Mojowarno, yaitu hutan Gondek termasuk Bongsorejo ini. Kiai dalam konteks Jawa saat itu kan sesepuh," terang Pendeta Rida saat ditemui NU Online di Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Putri Kwaron, Diwek, Rabu (2/11/22).


Guna menjaga keharmonisan umat beragama antar dusun sekitar Bongsorejo, pendeta yang sudah 5 tahun bertugas di Bongsorejo tersebut menjelaskan bahwa pengurus gereja aktif dalam menjalin silaturahim dengan pelbagai pihak. Di GKJW Bongsorejo, lanjutnya, terdapat Komisi Hubungan Antar Umat Beragama (KAUM), tupoksinya yaitu menjalin hubungan antar umat beragama, dan juga dengan pemerintah setempat. 


"Kalau hubungannya dengan antar umat beragama, kami saling mengunjungi saat hari-hari besar, kami pengurus gereja saat Idul Fitri kami keliling kepada kepala Desa Grogol dan Kamituwo Dusun tawar, kemudian Dusun Sentanan, dan Dusun Bogem," terangnya.


Sebaliknya, ketika ada acara ulang tahun gereja yang menampilkan pentas seni, pihak gereja juga mengundang pondok Bunyai Maftuhah Mustiqowati atau yang akrab disebut Bunyai Ika, yaitu Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Putri Kwaron ini untuk menampilkan Tari Saman di pentas seni tersebut.


Dalam kehidupan sehari-hari juga, lanjutnya, di Dusun Bongsorejo antara masyarakat Kristen dan Islam telah membaur. "Kan ada satu dua yang Islam, mereka biasa saling bekerja sama, local wisdom nya masih kelihatan, masih terasa, termasuk saat pandemi kita pihak gereja menggelontorkan sekitar 30 juta untuk membagikan sembako seluruh masyarakat warga Dusun Bongsorejo bukan hanya jemaat gereja saja," terang Pendeta yang juga aktif di Gusdurian ini.


Seringkali Bongsorejo dikunjungi oleh komunitas maupun organisasi seperti PMII, Gusdurian, Komunitas Gowes Jombang, Rumah Bhinneka dari Surabaya. Di sana juga pernah diadakan Haul Gus Dur di Balai Pertemuan GKJW pada tahun lalu.


Tidak saling mencurigai agama

Bagi Pendeta Rida, menjaga hubungan baik antar lintas agama di Gusdurian maupun dengan pemerintah dan warga masyarakat sekitar Dusun Bongsorejo adalah salah satu upayanya untuk menghindari terjadinya gesekan. Tentunya, menurutnya harus saling menghargai dan saling percaya. Menghargai dan saling percaya dapat terjadi ketika saling bertemu. "Sehingga kalau ada rumor apa kita bisa saling mengklarifikasi," tegas pendeta yang juga ketua komisi hubungan antar umat daerah ini.


Ada cerita menarik dari Pendeta Rida, sebelumnya Bu Nyai Ika dari Pondok Pesantren Mamba'ul Hikam Putri Kwaron Diwek ini belum pernah masuk ke Gereja. Pada suatu kesempatan Pendeta Rida mengajaknya untuk datang ke Gereja pada bulan kesaksian dan pelayanan. Sebab, bersaksi dalam acara tersebut bukan hanya untuk internal Kristen, tetapi juga terhadap lingkungan, termasuk alam.


Masyhur diketahui, Bunyai ini fokusnya adalah di Pesantren Eco Green, akhirnya mereka menjalin kerjasama untuk mengetahui lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan Eco Green di lingkungan Jemaat GKJW.


"Kebetulan bunyai belum pernah masuk ke gereja dan teman saya yang dari Kertorejo juga belum pernah masuk ke pondok ya sudah akhirnya saya ajak, ketika sudah bertemu masing-masing rasanya ya sama dag dig dug," ujarnya sambil tertawa kecil.


Moderasi bergama, tentu memiliki tantangan. Namun dengan rasa saling menghargai dan percaya akan membuat umat muslim dan Kristen dapat hidup bersama. Perbedaan tidak menjadi penghalang, namun justru menjadikan mereka saling menerima. Begitupun dengan Pendeta Rida yang menganggap pondok pesantren sebagai rumah keduanya. Karena penerimaan dari kedua pihak.


Moderasi beragama tersebut tidak hanya diterapkan oleh Penderita Rida, namun warga Dusun Bongsorejo juga pernah mengantarkan santri dari salah satu pesantren yang ingin pulang melewati jalan raya Bongsorejo. Akhirnya santri tersebut diantarkan oleh beberapa warga Bongsorejo ke rumahnya yang bertempat di Wonosalam. Akhirnya orang tuanya mengucapkan terimakasih kepada warga  Bongsorejo. Menurutnya, hal tersebut ialah moderasi beragama yang hanya dapat dilakukan orang yang sudah dewasa dalam beragama.


Ia menegaskan, kehadiran gereja dan orang Kristen bukan menjadi penghalang, tapi menjadi berkat, menjadi garam, dan menjadi terang dunia. Meskipun berbeda masih bisa hidup rukun, karena  sejak lahir manusia sudah berbeda. Berbeda bukan berarti tidak bisa hidup rukun.


Retnowati, dalam penelitiannya yang berjudul "Jaringan Sosial Gereja Jawi Wetan (GKJW) dengan Pondok Pesantren di Malang Jawa Timur" mengungkapkan salah satu bentuk hubungan kerjasama antara Islam dan Kristen tersebut adalah, kerjasama GKJW dengan PBNU yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yaitu Gerakan Moral Nasional pada tahun 1998. Kegiatan ini didukung oleh PBNU, Muhammadiyah, PGI dan KWI.


Proses membangun relasi, persaudaraan dan kerjasama dengan antarumat beragama tidak dapat ditempuh secara instan.


"Dalam hal ini dibutuhkan kesabaran, komitmen dan ketulusan, hingga pada akhirnya GKJW dan pondok-pondok pesantren berhasil membangun hubungan dan kerjasama di berbagai bidang. Hubungan baik ini bisa bertahan sampai saat ini dan sudah teruji karena melalui proses saling mengenal yang cukup panjang," jelas penelitian tersebut.


Melihat perjalanan GKJW dan pondok pesantren yang sudah dirawat dan diruwat sejak lama, diharapkan menjadi rujukan generasi saat ini untuk meneruskan dan memperbaharui keharmonisan antar umat beragama yang sama-sama mengambil peran sebagai warna negara, warga bangsa dan warga agama.


Khususnya warga Jombang yang merepresentasikan Ijo (hijau) dan Abang (merah). Hijau identik dengan Islam dan santri, merah melambangkan nasionalis, kejawen, maupun abangan yang memang diharapkan dapat hidup saling berkelindan di tengah-tengah masyarakat.


Penulis: Rifatuz Zuhro

Editor: Fathoni Ahmad

 

==================

Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI