Nasional

Bicara Keindonesiaan di Majelis Ta’lim Al-Hikam Manado

NU Online  ·  Ahad, 6 September 2015 | 11:01 WIB

Manado, NU Online
Majelis ta’lim Al-Hikam Cinta Indonesia di Manado, Sulawesi Utara, tak sekadar tempat membaca Barzanji, mengaji, atau bermain rebana, tapi sebagai ajang pertemuan ragam etnis, agama, budaya, dan bahasa. Seperti namanya, majelis tersebut cermin dari keindonesiaan yang memang beragam.  
<>
Majelis itu juga rutin jadi tempat kumpulnya anak-anak muda NU di Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) NU. Pada Sabtu (5/9) malam, misalnya, di majelis tersebut mengadakan diskusi santai dengan peserta AICIS Kemenag yang kebetulan digelar di kota tersebut.

Didaulat sebagai narasumber pertama adalah dosen Universitas Gajah Mada Yogyakarta Syamsul Ma'arif. Pada diskusi bertajuk “Menakar Indonesia dari Sisi Budaya” tersebut, ia mengatakan bahwa Indonesia terbuka dari hal-hal yang baru, tapi tetap bertahan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya, jati dirinya. Agama-agama, ragam budaya sejak berabad-abad lalu datang ke sini kemudian turut mewarnai keindonesiaan.

Karena itulah, menurutnya, Indonesia adalah nama lain keragaman. Indonesia dan keragaman adlaah sesuatu yang tak dapat dipisahkan. Namun demikian, keragaman bukan berarti aman dari keretakkan. Ragam ancaman terjadi. Tapi Indonesia terbukti mampu melewatinya. “Transisi yang dilewati masa Reformasi diprediksi akan rusuh. Gejolak dimana-mana, tapi ada kecendurangan tetap bertahan. Kebertahanan, itu perlu kita jaga,” ajaknya.

Cara mempertahankan itu, bisa melalui hal sederhana dan bisa dilakukan siapa saja dengan syarat siap berdamai dengan siapa pun, siap dialog kalangan mana pun. Sikap itu akan membuat merasa saudara dengan semua orang.

Hal itu, lanjut dia, tampak pada Majelis Ta’lim Al-Hikam Cinta Indonesia. Majelis tersebut berdampingan dengan rumah tokoh Muhammadiyah Sulut. Di sekelilingnya berpenduduk Kristen. Tak heran yang datang ke situ, tak hanya orang muslim dengan berbagai macam tujuan.

Di majelis yang diasuh Habib Muhsin Bilfaqih tersebut, kata Syamsul, luas ruangannya hanya beberapa meter, tapi rutinitasnya, pertemuan-pertemuannya, sangat berpengaruh besar sebagai tempat berkumpul saling mengenal, saling menjaga silaturahim.

“Ruang-ruang pertemuan menjadi jantung reproduksi keindonesiaan,” pungkasnya.

Warisan nenek moyang
Sementara dosen UGM yang lain, Suhadi, menceritakan kakek-nenek moyang bangsa Indonesia yang mengglobal sejak berabad-abad lalu. Ia pernah ke Tanzania. Di san, ia bertemu orang yang menceritakan nenek moyang orang Indonesia. "Belum ada teknologi canggih seperti sekarang nenek moyang kita sudah ke Afrika Timur,” katanya.  

Ia menambahkan, sejak abad 8, nenek moyang orang Bugis menyebarkan Islam di Australia dan dipeluk mereka. Cuma corak Islamnya mengalami keterputusan. Islam yang ada sekarang di negeri Kanguru tersebut adalah penyebaran yang relatif baru.

Keberislaman orang Nusantara ditunjukkan dengan hasil karyanya dalam bentuk tulisan. Ia pernah ke Islamic Center di Jepang. Di situ ditunjukkan kitab-kitab Syekh Nawawi Albantani. Bahkan karya-karya Syekh Ihsan Jampes Kediri, sampai sekarang kitabnya dipakai di madrasah-madrasah di Timur Tengah.

“Budaya kita sudah mengglobal, kemudian karena kolonial menjadi terpuruk.”

Kita menjalankan budaya yg telah dibuka generasi bangsa Indonesia sebelumnya. Anak-anak muda harus menjadi pelayan, punya kecintaan terhadap ilmu pengetahuan atau khadimul ilmi. Bukan hanya ilmu diniyah, tapi kebudayaan, teknologi.

Kedua, anak muda NU kalau sudah menjadi khadimul ilmi, jangan berada di menara gading, tapi ilmu yang bisa melayani umat. “Jangan berdiam diri, tapi menggerakkan masyarakat. Itulah santri!” tegasnya.  

Ia menggaristebali pernyataannya, bahwa santri, mulanya mengabdi kepada kiai, kepada ilmu, kemudian di masyarakat mengabdi kepada masyarakat.

Aktivis muda NU, Hamzah Sahal menambahkan warisan nenek moyang bangsa Inonesia yang sangat berharga. Misalnya keramahan. Ia menceritakan pengalamannya yang disambut hangat anak-anak muda Manado.

“Sama hangatnya ketika datang ke tetangga saya. Padahal jaraknya ratusan km dari Jawa. Di organisasi NU ada kehangatan, warisan agung silaturahim. Prasangka itu dari yang datang sama yang menerima seolah nggak ada,” ungkapnya.  

Menurut dia, dari silaturahim itu menjelma pada jejaring yang kuat. Hal ini kentara di NU yang modal utamanya bukan uang. Dengan adanya teknologi, jaringan silaturahim itu bisa dimaksimalkan melalui media sosial.  

Sementara pengasuh Majelis Ta’lim Alhikam Cinta Indonesia Habib Muhsin Bilfaqih mengatkan, manusia diciptakan memiliki 3 tugas, yaitu hablum minallah. “Maka pendekatan yang harus dibangun adalah ibadah. Tidak ada tawar-menawar,” katanya.

Kedua, hablum minan nas, pendekatan yang hars dibangun antarsesama manusia dengan akhlak. Dan ketiga, hablum minal alam, bumi, flora, dan fauna dengan pendekatan teknologi. “Jika ketiganya tertata dan terbangun dengan baik, maka itulah sorga di bumi,” ujarnya.

Diskusi yang dimoderatori Ketua PW Lesbumi Sulut, Taufik, tersebut dihadiri puluhan anak muda NU. Mereka saling melontar pendapat dan pertanyaan. Kemudian diakhiri doa bersama yang dipimpin Habib Muhsin. Diskusi yang dimulai sekitar pukul 21.00 Wita tersebut berakhir pukul 01.00 dini hari. Tapi obrolan santai tetap saja berlanjut. (Abdullah Alawi)