Nasional SULUK MALEMAN

Beragama dengan Ramah Mampu Jawab Problem Bangsa

Sen, 24 Mei 2021 | 09:45 WIB

Beragama dengan Ramah Mampu Jawab Problem Bangsa

Ngaji Suluk Maleman Habib Anis Sholeh Ba'asyin. (Foto: dok. Suluk Maleman)

Jakarta, NU Online

Nilai beragama dinilai begitu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan nilai beragama itu dianggap penting untuk dikuatkan dalam dunia pendidikan. Lantaran beragama dengan ramah mampu menjawab sejumlah problem berbangsa saat ini.


Hal itu seperti disampaikan oleh Ilyas, budayawan sekaligus dosen saat menjadi pembicara dalam Suluk Maleman edisi ke-113. Dia menyebut, setiap orang yang beragama dengan baik dapat dipastikan seorang Pancasilais.


“Semua yang ada di Pancasila itu sudah diajarkan di agama. Jadi ilmu beragama inilah yang perlu dikuatkan,” tegas Ilyas, Ahad (23/5) dalam keterangan tertulisnya.


Dia bahkan menegaskan jika penanaman antikorupsi maupun pendidikan karakter ingin dikuatkan maka bisa melalui jalan ilmu beragama. Namun nilai beragama itu sekarang ini justru belum banyak digali.

 


“Munculnya gerakan ngaji budaya seperi Suluk Maleman maupun Gambang Syafaat menjadi bukti. Banyak masyarakat yang menemukan sesuatu, yang menenangkan hatinya dan menjawab kegelisahan yang tak bisa dijawab di kampus-kampus,” terangnya.


Ironisnya, seringkali pendidikan formal justru mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Banyak jurusan yang mengarah pada sisi pencarian pekerjaan saja bukan menambah pengetahuan tentang lingkungan dan diri. Sistem pendidikan justru diseragamkan. 


“Ijazah seolah menjadi kunci masuk ke dunia pekerjaan. Maka dari itu banyak yang kuliah hanya untuk mencari ijazah bukan mencari ilmu,” ujar Ilyas.


Sementara itu, Habib Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman menyebut perilaku seperti itu menjadi salah contoh betapa manusia begitu mudah lupa pada kesejatian. Dunia cenderung membuat manusia menjadi lupa. Hal itulah yang membuat tatanan dunia menjadi carut marut.

 


“Manusia banyak yang dibuat lupa pada persoalan yang utama lantaran disibukkan dengan persoalan yang tidak penting,” terangnya.


Sikap mudah lupa itu dikatakannya seringkali dilakukan manusia di banyak aspek. Tak terkecuali perjanjian dengan Allah saat di alam ruh seperti yang tertuang dalam Surat Al-A’raf ayat 172.


“Persoalan materi dan dunia seringkali menjadi hal yang membuat manusia lupa,” tutur Habib Anis.


Dia menyebut bahwa karena manusia cenderung lupa, maka zikir atau mengingat adalah solusinya. Oleh karenanya, zikir perlu diulang-ulang sehingga manusia tak lupa jika berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.


“Memang ada banyak hal yang membuat lupa atau sengaja dilakukan agar manusia lupa. Terutama apa yang ada di media sosial. Kita diberi gambaran-gambaran palsu agar lupa pada persoalan yang sejati,” jelasnya.

 


Salah satu contoh, Habib Anis menyebut kasus Palestina. Akhir-akhir ini banyak beredar narasi di media sosial yang membuat kita lupa bahwa persoalan pokoknya adalah kemanusiaan; dan fakta adanya penjajahan. Kita juga tampaknya sedang digiring untuk lupa pada fakta bahwa Palestina adalah pihak yang membantu kemerdekaan bangsa Indonesia.


“Kita bisa juga belajar dari sifat shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah dari Rasulullah. Dari sini kita diajari bahwa hal pertama adalah bersikap jujur, benar. Untuk menemukan sifat ini orang harus mengenali dirinya; dan untuk mengenali diri orang juga harus mengenali pengasuhnya, yakni Allah SWT. Setelah menemukan sifat shidiq, barulah mungkin orang menemukan sifat amanah atau sifat terpercaya dalam relasi kemasyarakatannya,” jelas Habib Anis.


Dari amanah itulah yang nantinya membuat manusia bisa menyampaikan sesuatu ke masyarakat. Ketika sudah dipercaya maka apa yang disampaikan akan diterima dengan baik. Sifat tabligh, yang muncul dari hubungan manusia dengan alam malakut. Setelah itu barulah mungkin orang menemukan sifat fathonah, kecerdasan yang luar biasa.

 


“Namun sekarang ini banyak yang terbalik, anak-anak diajari pentingnya kecerdasan,  dengan berhitung dan pelajaran lainnya; tanpa lebih dahulu didasari bagaimana mengenali diri dan membangun kejujuran,” kata dia.


Sementara M. Khoiruddin menambahi bahwa masalah pendidikan kita bukan hanya salah prioritas, tapi juga salah pendekatan. Penyeragaman sistem sekolah membuat anak tidak berkembang sesuai bakatnya, tapi dikembangkan sesuai kehendak kurikulum.


“Akibatnya tak ada anak petani yang bercita-cita jadi petani, atau anak pelaut bercita-cita jadi pelaut,” kata Khoiruddin.


Pewarta: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon