Nasional

Belajar Toleransi Paling Sederhana, Mendengar Tanpa Menghakimi

NU Online  ·  Rabu, 10 Juli 2019 | 13:45 WIB

Jakarta, NU Online
Toleransi buka hanya untuk disuarakan, tetapi juga harus diupayakan dan dilakoni sebagai suatu sikap menghadapi perbedaan. Terlebih Indonesia merupakan negara dengan kompleksitas perbedaan yang cukup tinggi. Pasalnya, terdapat banyak agama, ratusan suku dan bahasa.

Meskipun demikian, belajar toleran tidak perlu jauh-jauh harus berinteraksi langsung dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya. Putri Indonesia Perdamaian 2017 Dea Goesti Rizkita Koswara menyampaikan bahwa toleransi dapat dipelajari dari hal yang paling sederhana, yaitu mendengar.

“Mendengar tanpa menghakimi itu paling di tahap sederhana,” katanya kepada NU Online pada saat Konferensi Pers program Sabang Merauke, pada Rabu (10/7) di Graha Mitra, Lantai 2, Jl. Gatot Subroto Kav. 21, Jakarta.

Psikolog anak itu juga menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Ambon, Maluku. Kota tersebut pernah bersitegang karena provokasi agama dengan pembakaran masjid dan gereja yang konon dilakukan oleh orang yang agamanya berbeda. Peristiwa tragis berdarah-darah itu pun tak terelakkan. Bahkan, sampai ada pembelahan kampung, pemukiman Nasrani dan Muslim terpisah.

Saat ini, katanya, pemukiman tersebut sudah menyatu kembali. Mereka sudah hidup berdampingan sebagaimana sedia kala.

Dea bersama seorang relawan Muslim menemui seorang kakek Nasrani di sana. Ternyata, kakek relawan yang menemaninya merupakan penolong kakek Nasrani yang ia temui. “Kakek relawan yang Muslim menjadi penyelemat Nasrani ,” katanya menceritakan.

Selain Dea, hadir pula Putri Indonesia 2018 Sonia Fergina Citra. Perempuan asal Belitung itu mengangkat tema toleransi sebagai suatu hal yang dibawa pada ajang Miss Universe.

Be diverse be tolerance (menjadi berbeda, menjadi toleran),” katanya merupakan tema yang ia angkat saat keikutsertaannya pada Miss Universe.

Pilihan tema tersebut tentu saja bukan tanpa alasan. Ia memiliki latar belakang keluarga yang heterogen. Selain keturunan Tionghoa plus Belanda yang pernah tinggal di Merauke, ia juga lahir dari orang tua yang berbeda agama. Kakak dan pamannya juga berbeda dengannya.

Tak ayal, toleransi bukanlah barang baru baginya. Terlebih, meskipun ia memilih sebagai penganut Katolik, rumahnya persis berada di depan masjid. “Toleransi sudah dididik sejak kecil dari orang tua,” katanya.

Menurutnya, toleransi dengan masyarakat yang berbeda latar belakang tentu harus dilakukan sebagai individu masing-masing agar mengalaminya secara langsung. “Harus dirasakan sendiri bagaimana perbedaan itu terasa,” pungkasnya.

Sabang Merauke merupakan sebuah program yang mengikutsertakan 20 peserta dari tingkat SMP dan 20 peserta dari tingkat perguruan tinggi untuk tinggal di sebuah keluarga dengan latar belakang budaya, suku, dan agama yang berbeda. (Syakir NFAbdullah Alawi)