Jakarta, NU Online
Allah itu Maha Mengawasi dan Maha Melihat atas semua yang diperbuat hambanya. Karena Allah Maha Melihat maka kita perlu melakukan ikhtiar melalui seluruh indera kita agar kita bisa menerima pandangan atau cahaya Allah.
“Aku harus selalu mencintai Allah supaya Allah tidak lepas dari pandanganku”. Salah satu metode untuk senantiasa menghadirkan Allah dalam pandangan kita adalah melalui Muraqabah, kata KH Luqman Hakim dalam acara Kongkow Sufi, Rabu (9/11) di Jakarta.
Menurutnya pakar tasawuf tersebut, muraqabah adalah metode untuk melaksanakan Al-ihsan (anta'budallah ka annak taroka fainlam tarak fainnahu yarak) supaya kita bisa memandang dan dipandang oleh Allah. Lalu ada proses dan tahapan selanjutnya setelah muraqabah adalah Musyahadah dan Ma'rifah.
Untuk bisa melakukan muraqabah yang dibutuhkan adalah sebuah kesadaran. Kesadaran bahwa ia sedang dan selalu dipandang oleh Allah. Ketika Allah memandang diri kita, Allah memandang dengan mataNya yang mewakili ekspresi dari asma, af'al dan sifat-Nya.
Agar seseorang siap untuk dipandang, Allah memberikan kepada hambanya isti'dadul 'abdi (kesiapan untuk dipandang) yang membutuhkan beberapa tahapan ikhtiar atau proses. Ketika seorang hamba tidak siap untuk bisa menerima cahaya pandangan Allah maka ia bisa terbakar.
Dan sebaliknya ketika seorang hamba sudah siap dipandang dan menerima cahaya Allah maka ia siapkan cermin yang bersih untuk memantulkan cahaya Allah dan itulah yang disebut Nurun 'ala nuurin (Cahaya di atas Cahaya).
Proses perjalanan hamba untuk bisa memandang dan menerima cahaya pandangan dari Allah kalau digambarkan dalam bentuk grafik menyerupai sebuah Kurva. Persiapan diri kita dari titik awal kiri bawah perlahan-lahan bergerak naik ke arah kanan atas menuju Allah.
“Tahapan pada psoses ini bernama Mujahadah yakni sebuah proses perjuangan hamba melawan hawa nafsu untuk bisa berjumpa dan memandang Allah,” tutur Kiai Luqman.
Ketika seorang hamba sudah mencapai titik atas mampu memandang Allah yang disebut dengan Ma'rifat, maka tahapan berikutnya adalah perjalanan turun dari atas pendakian namun sudah dibarengi dengan cahaya Allah. (Akhlis/Fathoni)