Nasional

Alissa Wahid: Tidak Masuk Akal Hinaan Masyarakat Ringankan Vonis Koruptor Bansos Covid-19

Sel, 24 Agustus 2021 | 12:00 WIB

Alissa Wahid: Tidak Masuk Akal Hinaan Masyarakat Ringankan Vonis Koruptor Bansos Covid-19

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengatakan cercaan yang dilontarkan oleh masyarakat, terutama di media sosial, kepada terdakwa korupsi bansos Covid-19 itu sebagai ekspresi kemarahan. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid menyatakan bahwa vonis hukuman 12 tahun bagi Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang melakukan korupsi dana bantuan sosial (bansos) Covid-19, sangat tidak masuk akal. Ditambah, keringanan itu diberikan lantaran hakim merasa kasihan karena terdakwa mendapat berbagai hinaan dari masyarakat. 

 

"Aneh ya salah satu pertimbangannya adalah karena beliau sudah menderita karena di-bully oleh publik. Itu nggak masuk akal. Tidak ada hubungannya sama sekali. Dari sisi keadilan, publik merasa keberatan kalau hanya divonis 12 tahun. Karena ini pejabat negara melakukan korupsi bansos dalam pandemi Covid-19," tutur Alissa kepada NU Online, Selasa (24/8/2021).

 

Meski begitu, ia meyakini, cercaan yang dilontarkan oleh masyarakat, terutama di media sosial, kepada terdakwa korupsi bansos Covid-19 itu sebagai ekspresi kemarahan. Sebab, di masa krisis ini sudah banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan untuk menafkahi keluarga, sehingga mengharapkan bansos. Sementara dana bansosnya sendiri dikorupsi. 

 

"Itu kemarahan dan menurut saya wajar terjadi. Karena sekarang kondisi sedang krisis. Sudah sangat banyak orang yang terdampak oleh pandemi ini. Dalam kondisi seperti ini negara wajib memberikan pengganti biaya hidup. Kita membayar pajak itu salah satunya untuk menyelesaikan urusan-urusan seperti ini. Lah kok yang begitu malah diambil? Itu kan benar-benar melanggar rasa keadilan," jelas putri sulung Presiden Keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu.

 

Menurut Alissa, saat ini Indonesia memiliki dua problem sekaligus yakni persoalan korupsi itu sendiri dan respons masyarakat yang berlebihan. Pelaku korupsi tentu saja tidak bisa meminta masyarakat untuk bersikap baik kepadanya.

 

"Karena (korupsi bansos Covid-19) rasa sakit masyarakat bukan sekadar dihina tetapi karena sudah diperlakukan tidak adil, kemudian ada pihak yang mengambil keuntungan sangat besar. Jadi, kemarahan masyakarat itu hal yang sangat wajar," tutur Alissa. 

 

Namun pada saat yang sama, Alissa menyoroti adanya semacam 'tradisi baru' masyarakat yang kerap melakukan penghujatan tanpa batas di media sosial. Ia khawatir masyarakat Indonesia justru berkembang menjadi bangsa yang gemar mem-bully setiap kali ada persoalan besar. 

 

"Saya khawatirnya lebih kepada masyarakat, bukan kepada pihak yang korupsi itu. Karena dalam hal ini pihak yang jadi korban bully-an masyarakat memang dia salah. Tetapi yang saya khawatirkan kalau kita berkembang menjadi bangsa yang tukang bully ini. Saya lebih concern ke sananya. Itu yang paling berat," papar Alissa. 

 

Tantangan penegakan hukum di Indonesia

Alissa menuturkan bahwa Indonesia memiliki tantangan sangat besar dalam hal penegakan hukum. Salah satunya karena saat ini sedang berada di fase partai politik, sehingga segala sesuatu termasuk hukum di Indonesia seringkali dipolitisasi. 

 

"Nah politisasi itu kan terkait dengan partai politik. Itu yang saat ini sedang menjadi kerangkeng besar sehingga apa pun diolah dengan paradigma dan kepentingan politik. Bahkan hukum menjadi tidak imun terhadap kepentingan politik. Itu yang menjadikan kita tidak benar-benar bisa menegakkan hukum pada landasan prinsip keadilan, tetapi lebih kepada kepentingan politik," tegasnya. 

 

Dalam konteks pengambilan keputusan di negeri ini, menurutnya bahkan kerap diwarnai kepentingan politik. Artinya, kata Alissa, jika masyarakat bersuara sangat keras, hakim bisa saja tidak berani mengambil keputusan yang ringan. 

 

"Artinya, bukan benar-benar karena konstitusi dan hukumnya yang mengatur demikian, tetapi karena ada tekanan sana-sini atau biasa kita sebut dengan mobokrasi. Dalam hal ini, mob-nya ada di media sosial tuh, bullying dan macam-macam sebagainya. Mobokrasi ini jadi problem lebih besar daripada sekadar mantan Mensos ini yang di-bully atau vonis 12 tahun itu," pungkasnya.

 

Sebelumnya, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie mengaku kecewa atas putusan vonis 12 tahun untuk Juliari Batubara. Sebab korupsi yang dilakukan terdakwa, sudah memenuhi unsur 'keadaan tertentu' dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 Ayat 2.

 

Ia menjelaskan bahwa keadaan tertentu yang dimaksud dalam Pasal (2) ayat 2 dalam UU tersebut di antaranya bencana alam nasional. Sementara pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Presiden sebagai darurat kesehatan sebagaimana dituangkan dalam Kepres No 11 Tahun 2020.

 

Tholabie menganggap hukuman yang dijatuhkan karena alasan terdakwa menderita dengan hinaan dan makian masyarakat, selain karena sikapnya yang tertib dalam persidangan, sebagai putusan yang dipaksakan. 

 

"Argumentasi hukum yang dipaksakan. Kami sedih mendengar argumentasi itu muncul dari hakim," katanya.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan