Nasional

Ali Masykur: Pancasila belum jadi Ideologi Kerja

NU Online  ·  Jumat, 22 Juni 2012 | 14:22 WIB

Jakarta, NU Online
Indonesia bersyukur mempunyai Pancasila sebagai common denominator, konsensus nasional atau kalimatun sawa’ yang menjadi basis bagi persatuan nasional. Pancasila merupakan “rumah” bersama yang menaungi seluruh anak bangsa lepas dari asal-asul agama, etnis, dan golongan. Namun, sayangnya, Pancasila berhenti sebagai ideologi prinsip yang direproduksi secara verbal, tetapi tidak ditopang oleh ideologi kerja sebagai basis pembangunan nasional.<>

Demikian disampaikan oleh Ali Masykur Musa pada acara sarasehan cendekiawan nasional yang digelar di Gedung Juang, Cikini Jakarta, Jumat (22/6). 

Hadir pula dalam acara tersebut Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia (ICHI) Tri Handoko Seto, Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir, Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Muliawan Margadana,  Sekjen Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) Citra Surya, Ketua Umum Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) Cornelius Ronowijoyo, Wakil Cendekiawan Konghucu Kris Tan.

Ali Masykur mengatakan, aAkibatnya, nilai-nilai luhur Pancasila tidak tercermin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dan menjadi kekuatan pendorong untuk mewujudkan cita-cita nasional. 

“Yang terbentang di hadapan kita sekarang adalah fakta yang memunggungi nilai-nilai dasar Pancasila. Sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa,” tetapi yang terjadi adalah Keuangan Yang Maha Kuasa. Sila kedua berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” tetapi yang berlangsung adalah penistaan terhadap keadilan dan kemanusiaan, mewabahnya sikap semena-mena, dan hilangnya tenggang rasa.”

Sila ketiga berbunyi “Persatuan Indonesia,” tetapi yang dikembangkan adalah sistem yang meruntuhkan nasionalisme dan patriotisme serta menonjolnya pengagungan kepentingan pribadi dan golongan.  Sila keempat berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,” tetapi yang berlaku adalah tirani mayoritas, terkikisnya semangat kekeluargaan dan gotong royong, serta  merajanya demokrasi menang-kalah. Sila kelima berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tetapi yang terjadi adalah ketidakadilan yang merata, jurang ketimpangan kesejahteraan yang kian menganga. 

Indonesia dibentuk dengan empat tujuan nasional sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 

“Harus diakui pencapaian empat tujuan nasional yang merangkum empat inti kebutuhan dasar warga negara yaitu keamanan, kesejahteraan, kecerdasan, dan kewibawaan/harga diri di mata bangsa-bangsa lain tersebut masih jauh panggang dari api.”

Adalah fakta bahwa bangsa dan tumpah darah Indonesia belum sepenuhnya terlindungi. Hasil pembangunan juga harus diakui belum menyentuh kesejahteraan umum. Pendidikan nasional yang digalakkan pemerintah belum secara sistemik mendukung usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. 

“Politik luar negeri pemerintah juga belum mengangkat wibawa dan harga diri bangsa sehingga dapat berperan aktif dalam mewujudkan tatanan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”



Redaktur: Mukafi Niam