Jakarta, NU Online
Hasil penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI 2017 menunjukkan data yang cukup mengejutkan. Pasalnya, dari 755 pesantren yang disurvei, 34 persen atau 253 pesantren ternyata dipimpin kiai dengan rata-rata usia 41 – 50 tahun.
Demikian disampaikan Peneliti Nunu Ahmad Annahidl pada acara Seminar Hasil Penelitian Evaluasi Tafaqquh Fiddin di Pesantren di Takes Mansioan Hotel Jakarta, Rabu (20/12).
“Ini menarik rata-rata pimpinan pesantren itu muda. Kalau yang dianggap sepuh itu dia atas enam puluh tahun,” lanjutnya.
Sementara pimpinan pesantren yang berusia 51 - 60 tahun adalah 176 pesantren (23 persen), yang berusia di atas 60 tahun memimpin 142 pesantren (19 persen), dan yang berumur 31 – 40 tahun mengasuh 156 pesantren (21 persen). Selain itu, ditemukan fakta yang menarik karena ada pimpinan pesantren yang berusia di bawah 30 tahun.
“Ada 28 pesantren dimana usia pimpinan pesantrennya di bawah 30 tahun,” jelasnya.
Penelitian ini juga mengungkap pengalaman belajar para pimpinan pesantren; baik belajar di pesantren, di luar negeri, dan pendidikan terakhir yang diselesaikan. Sebanyak 775 pimpinan pesantren (97 persen) mengaku pernah belajar di pesantren dari 801 pesantren yang memberikan respon.
“88 persen pimpinan pesantren tidak pernah belajar di luar negeri,” katanya.
Nunu mengatakan, tingginya presentase pimpinan pesantren yang tidak pernah belajar di luar negeri bukan berhubungan langsung dengan tinggi rendahnya pesantren yang dikelola. Namun, setidaknya mereka yang pernah belajar di luar negeri memiliki pengalaman yang lebih luas.
Para pimpinan pesantren juga rata-rata menempuh pendidikan formal. 41 persen (283 pimpinan pesantren) adalah lulusan Madrasah Aliyah atau Sekolah Menengah Atas. Begitupun yang lulusan Strata 1, yakni 41 persen.
“Ada 16 persen pimpinan pesantren (114 orang) yang S2 dan 2 persen (16 orang) yang S3,” ungkapnya.
Penelitian ini dilaksanakan di dua puluh satu kabupaten kota dan sebelas provinsi, yaitu Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Pesantren yang menjadi objek kajian penelitian ini adalah yang menyelenggarakan berbagai satuan atau program pendidikan seperti pendidikan umum, kejuruan, kesetaraan, pendidikan tinggi, dan lainnya. Dengan ini, penelitian ini mengecualikan empat satuan pendidikan, yaitu pesantren yang semua santrinya mengaji kitab kuning dan mereka tidak sekolah formal, pesantren modern ala Gontor yang menggunakan pola pendidikan mu'allimin, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan diniyah formal, dan pesantren yang menyelenggarakan pendidikan mu’adalah (penyetaraan). (Muchlishon Rochmat)