Jakarta, NU Online
Di Indonesia jumlah pesantren mencapai sekitar 24.000, terdiri dari pesantren bergaya tradisional, modern, dan kombinasi keduanya. Namun, akhir-akhir ini terdapat corak lain, yakni pesantren berhaluan keras atau radikal.
<>
”Ada 103 pesantren yang terindentifikasi radikal,” kata koordinator media, data, dan informasi Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMINU), Agus Muhammad, Kamis (7/3), di Jakarta.
Agus menjelaskan, indikasi pesantren radikal dapat dilihat dari paham dan sikap keberagamaannya, antara lain, berpaham wahabi, gemar memaksakan pendapat, anti-keragaman, dan mengambil jalan kekerasan. Pesantren garis keras ini tersebar baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa dan jumlahnya dimungkinkan akan bertambah.
”Mereka mengklaim sebagai kelompok Islam paling murni sehingga merasa berkewajiban mempurifikasi orang lain. Makanya mereka disebut puritan. Mereka suka memaksakan pendapat, sangat koersif,” ujarnya.
Menurut Agus, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan paham ke-NU-an ini mulai tumbuh di Indonesia sekitar tahun 80-an. Mereka berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah alumni pendidikan Timur Tengah atau dalam negeri yang mendorong perilaku ekstrem.
”Sebagian dari mereka malah ada yang jelas-jelas melakukan konsolidasi melakukan kekerasan, seperti pesantren Umar bin Khattab di Bima Nusa Tenggara Barat,” imbuhnya.
RMINU memastikan, pesantren berbasis nahdliyin tidak ada yang terlibat dalam radikalisme, apalagi terorisme. Melalui prinsip tasammuh (toleransi), tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (tegak), lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara ini menolak berbagai bentuk kekerasan dan pembelotan terhadap NKRI.
Penulis: Mahbib Khoiron
J
akarta, NU Online
Di Indonesia jumlah pesantren mencapai sekitar 24000, yang terdiri dari pesantren bergaya tradisional, modern, dan kombinasi keduanya. Namun, akhir-akhir ini terdapat corak lain, yakni pesantren berpaham keras atau radikal.
”Ada 103 pesantren yang terindentifikasi radikal,” kata koordinator media, data, dan informasi Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMINU), Agus Muhammad, Kamis (7/3), di Jakarta.
Agus menjelaskan, indikasi pesantren radikal dapat dilihat dari paham dan sikap keberagamaannya, antara lain, berpaham wahabi, gemar memaksakan pendapat, anti-keragaman, dan mengambil jalan kekerasan. Pesantren-pesantren ini tersebar baik di dalam maupun di luar Pulau Jawa.
”Mereka mengklaim sebagai kelompok Islam paling murni sehingga merasa berkewajiban mempurifikasi orang lain. Makanya mereka disebut puritan. Mereka suka memaksakan pendapat, sangat koersif,” ujarnya.
Menurut Agus, kelompok-kelompok yang berseberangan dengan paham ke-NU-an ini mulai tumbuh di Indonesia sekitar tahun 80-an. Mereka berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah alumni pendidikan Timur Tengah atau dalam negeri yang mendorong perilaku ekstrem.
”Sebagian dari mereka malah ada yang jelas-jelas melakukan konsolidasi melakukan kekerasan, seperti pesantren Umar bin Khatab di Sumbawa,” imbuhnya.
RMINU memastikan, pesantren berbasis nahdliyin tidak ada yang terlibat dalam radikalisme, apalagi terorisme. Melalui prinsip tasammuh (toleransi), tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (tegak), lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara ini, menolak berbagai bentuk kekerasan dan pembelotan terhadap NKRI.
Penulis: Mahbib Khoiron
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menguatkan Sisi Kemanusiaan di Bulan Muharram
2
Khutbah Jumat: Mengais Keutamaan Ibadah di Sisa bulan Muharram
3
Khutbah Jumat: Muharram, Bulan Hijrah Menuju Kepedulian Sosial
4
Khutbah Jumat: Muharram, Momentum Memperkuat Persaudaraan Sesama Muslim
5
Inalillahi, Tokoh NU, Pengasuh Pesantren Bumi Cendekia KH Imam Aziz Wafat
6
Khutbah Jumat: Jangan Apatis! Tanggung Jawab Sosial Adalah Ibadah
Terkini
Lihat Semua