Lingkungan

Tiga Unsur dalam Ekosistem Mangrove yang Wajib Diketahui

Ahad, 27 Juni 2021 | 04:00 WIB

Tiga Unsur dalam Ekosistem Mangrove yang Wajib Diketahui

Penanaman mangrove di Kepulauan Bangka Belitung. (Foto: BRGM)

Jakarta, NU Online
Kepala Kelompok Kerja (Kapokja) Rehabilitasi Mangrove Wilayah Sumatera Onesimus Patiung menjelaskan, terdapat tiga unsur dalam ekosistem mangrove yang wajib diketahui sebelum melakukan rehabilitasi kerusakan mangrove. Ketiga itu adalah unsur abiotik, biotik, dan kultur masyarakat.

 

“Pertama, unsur abiotik. Kita perlu memahami soal meteorologi dan karakteristik substrat atau lumpur dan pasir, kualitas air, dan lahan. Jadi kita harus paham iklim, musim, pasang surut gelombang, bahkan berbagai macam yang terjadi di sekitar pesisir atau di ekosistem mangrove,” jelas Onesimus dalam Sosialisasi Percepatan Rehabilitasi Mangrove Provinsi Bangka Belitung, Kamis (25/6) kemarin.

 

Menurutnya, pengetahuan tentang unsur abiotik itu sangat penting untuk dipahami karena merupakan letak keberhasilan dari pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam di kawasan mangrove. 

 

“Banyak teman-teman di lapangan, terutama masyarakat, yang hanya melihat dari sisi rhizopora atau bakaunya saja yang dianggap sebagai mangrove, padahal banyak sekali yang harus diperhatikan di situ,” kata Ones, sapaan akrabnya.

 

Selain itu, masyarakat dan petugas di lapangan pun sudah mencoba untuk menggunakan alat pemecah ombak sederhana dari kayu dan bambu. Namun ternyata, karena ombak yang menggelombang terlalu tinggi maka semuanya hancur alias gagal. 

 

“Sudah satu bulan ini diuji coba, boleh dikatakan tanaman yang ditanam gagal dan alat pemecah ombaknya pun hancur. Jadi, hal-hal ini sedang dicoba di beberapa tempat,” jelas Ones. 

 

Kedua, unsur biotik. Menurut Ones, kondisi ekosistem mangrove berbeda di masing-masing kawasan. Terutama di Bangka Belitung yang kondisinya agak sedikit berbeda. Lapisan bawah mangrove di alam Bangka Belitung cukup menjanjikan. 

 

“Boleh dikatakan duit semua yang ada di bawahnya itu. Ada tambang yang cukup luar biasa yang ada di Babel sehingga ini juga perlu diperhatikan. Ini harus juga kita perhatikan di dalam menilai keberhasilan. Jadi dari abiotic dan biotiknya harus bisa kita lihat,” terangnya. 

 

Ketiga, unsur kultur masyarakat. Ones menjelaskan bahwa unsur ini lebih berpengaruh karena keberadaan manusia. Seperti budaya masyarakat di pesisir yang sering berkegiatan di laut seperti mencari ikan, kepiting, dan siput.  

 

Bahkan dari mangrove sendiri, sudah banyak yang dihasilkan beberapa produk. Terdapat beberapa masyarakat yang mengambil madu, membuat sirup, dan makanan-makanan kecil yang banyak dihasilkan dari mangrove. 

 

“Nah kita harus tahu kapan mereka (masyarakat) melaut, kapan mereka balik lagi, dan sebagainya. Semua ini harus kita kenali dengan baik,” katanya.

 

Strategi percepatan rehabilitasi mangrove.

Beberapa strategi percepatan rehabilitasi mangrove pun tengah digalakkan BRGM RI bersama beberapa pihak terkait. Utamanya soal koordinasi dan sinkronisasi data serta rencana kegiatan berbagai kementerian atau lembaga di Indonesia. 

 

“Mudah-mudahan persoalan data sudah bisa diselesaikan di akhir bulan ini sehingga data ini sudah lebih realistis di lapangan, sehingga teman-teman di lapangan bisa bekerja dengan baik dan tenang. Karena target yang cukup besar tapi kita susah untuk mencari lokasinya,” ujar Ones. 

 

Kemudian, diperlukan juga proses edukasi dan sosialiasi gerakan cinta mangrove yang harus dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat, swasta, akademik, dan NGO. Lalu, BRGM RI pun tengah mengupayakan melakukan pembentukan Desa Peduli Mangrove yang menjadi ujung tombak dari rehabilitasi yang berkelanjutan. 

 

Selanjutnya, harus ada sinergi rehabilitasi mangrove antara BRGM RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Desa (Kemendes), serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Hal tersebut dilakukan agar rehabilitasi mangrove dapat terlaksana secara terukur dan berkelanjutan.

 

Data ekosistem mangrove di Indonesia

Dikutip dari situs www.indonesia.go.id (https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/penting-menjaga-si-pelindung-pantai), KLHK telah mencatat bahwa ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia yang mencapai 202 jenis tumbuhan mangrove dengan 89 spesies. Termasuk rumah bagi setidaknya 27 jenis ikan dan 4 jenis udang dan kepiting bernilai ekonomis tinggi. Mangrove juga menjadi sarang bagi berbagai satwa burung, primata, dan reptil.

 

Menurut data Peta Mangrove Nasional, Indonesia memiliki 3,31 juta hektar luasan mangrove dengan 2.673.583 hektar dalam kondisi baik dan 637.624 hektar dengan kerapatan jarang. Hutan mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon atau sepertiga stok karbon pesisir global. Indonesia adalah rumah bagi 20 persen dari vegetasi mangrove dunia yang mencapai 15,2 juta ha.  

 

Pemanfaatan hutan mangrove sejak beberapa tahun terakhir ini yang dilakukan secara terus menerus dan masif telah mengurangi luasan dan populasinya. Konversi hutan mangrove menjadi lahan permukiman, tambak, dermaga, dan pelabuhan serta tindakan lainnya. Tak sedikit pula dari masyarakat yang mengambil akar mangrove untuk dijadikan kayu bakar, bahan bangunan, dan lainnya.

 

Hal itu menyebabkan laju perusakan mangrove mencapai 52.000 hektar per tahun. Kondisi ini tidak dibarengi dengan laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove baru yang lebih lambat jika dibandingkan dengan laju perusakannya.

 

Berkurangnya luasan hutan mangrove secara garis besar disebabkan oleh ulah manusia. Jika dilihat dari dampak kerusakannya berakibat rusaknya biota laut, terancamnya permukiman nelayan, suramnya mata pencarian para nelayan, dan menimbulkan abrasi pantai secara luas.

 

Padahal hutan mangrove punya karakteristik mampu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan alam di kawasan pantai. Selain itu, dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang tak seragam.

 

Mangrove juga mampu menahan lumpur sehingga mempercepat munculnya tanah timbul, perangkap zat-zat pencemar dan limbah serta mencegah intrusi air laut ke darat. Mangrove juga berfungsi sebagai kawasan pemijahan (spawining ground) dan berkembang biak (nursery ground).

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan