Khutbah

Khutbah Idul Fitri: Revolusi Spiritual saat Lebaran Tiba

Sel, 18 April 2023 | 04:00 WIB

Khutbah Idul Fitri: Revolusi Spiritual saat Lebaran Tiba

Ilustrasi: Syawal - Idul Fitri (NU Online)

Khutbah Idul Fitri 1444 H kali ini mengingatkan kita agar tetap membawa semangat Ramadhan meskipun sudah lebaran. Semangat menahan hawa nafsu selama Ramadhan harus membekas sepanjang tahun.
 

Khutbah Idul Fitri kali ini berjudul: “Khutbah Idul Fitri: Revolusi Spiritual saat Lebaran Tiba". Untuk mengunduh dan mencetak naskah khutbah Idul Fitri ini dalam format PDF, silakan klik di sini. Semoga bermanfaat! (Redaksi)

 

Khutbah Pertama
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
 

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَتَمَّ لَنَا شَهْرَ الصِّيَامِ، وَأَعَانَنَا فِيْهِ عَلَى الْقِيَامِ، وَخَتَمَهُ لَنَا بِيَوْمٍ هُوَ مِنْ أَجَلِّ الْأَيَّامِ، وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الواحِدُ الأَحَدُ، أَهْلُ الْفَضْلِ وَالْإِنْعَامِ، وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ إلَى جَمِيْعِ الْأَنَامِ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ التَّوْقِيْرِ وَالْاِحْتِرَامِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ

أَمَّا بَعْدُ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ، وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

 


Jamaah Idul Fitri yang dimuliakan Allah
Marilah kita bersama-sama meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt dengan menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Hanya dengan takwa manusia menjadi mulia di hadapan Allah sebagaimana firman dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 13:
 

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ
 

Artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.”
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

 

Hadirin, hadirat, rahimakumullah

Hari Raya Idul Fitri adalah hari yang sangat penting bagi kita semua. Hari ini menandai bahwa kita telah melewati bulan Ramadan, bulan yang di sepanjang harinya kita diperintahkan menahan diri dari segala kebutuhan dasar manusia yang berupa makan, minum, dan segala hal lain yang membatalkan puasa. Melalui datangnya tanggal 1 Syawal ini berarti kita akan menghadapi hari-hari seperti biasanya, yaitu hari yang kita diperbolehkan menyalurkan segala kebutuhan dasar manusia seperti makan, minum, dan lain-lain.
 

Pada saat manusia berpuasa maka ia berbeda dengan para binatang, tapi ketika manusia sedang berbuka atau tidak berpuasa maka keberadaannya sama dengan para binatang dalam hal sama-sama berusaha memenuhi kebutuhan dasar hayawani, yakni makan, minum, dan bersetubuh. Dalam kitab Durratun Nashihin karangan Syaikh Utsman bin Hasan Al-Khuwairi dijelaskan, manusia adalah makhluk Allah yang dalam dirinya terdapat “entitas atau sifat kebinatangan” dan “sifat kemalaikatan.”
 

Sifat kebinatangan yang dimaksud adalah “syahwat” atau keinginan untuk melakukan segala hal yang bersifat naluri, seperti makan, minum, menyalurkan hasrat seksual, dan yang lainnya. Sedangkan sifat atau entitas kemalaikatan adalah “akal” atau pengetahuan yang selalu mengajak manusia melakukan kebaikan dan mengendalikan segala keinginan yang bersifat kebinatangan.
 

Jika sifat kebinatangan manusia tidak bisa dikendalikan, yakni manusia melakukan segala hal yang ia inginkan tanpa mempedulikan aturan-aturan agama, maka ia tidak jauh berbeda dengan binatang, bahkan dikatakan oleh Al-Quran ia lebih sesat daripada binatang:
 

أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

 

Artinya, “Mereka seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al-A‘raf 179). 
 

Binatang diciptakan oleh Allah tidak memiliki akal, hanya memiliki syahwat semata, sehingga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya tidak mengenal aturan agama. Ingin makan, ia akan makan apapun yang ia senangi tanpa mengetahui makanan itu milik siapa. Ingin minum ia akan minum apapun yang ia sukai tanpa harus tahu minuman itu milik siapa, memabukkan atau tidak. Ingin menyalurkan hasrat seksualnya maka ia akan bersetubuh tanpa melalui sejumlah syarat dan rukun di dalam pernikahan.
 

Tapi, jika sifat atau entitas kemalaikatan yang dimiliki manusia berupa akal dapat difungsikan, yakni manusia di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya selalu memperhatikan aturan-aturan agama, maka status manusia akan menjadi makhluk yang mulia di hadapan Allah, bahkan lebih mulia daripada malaikat.
 

Semua waktu yang dimiliki malaikat digunakan hanya untuk beribadah kepada Allah, tidak makan, tidak minum, dan yang lainnya. Hal ini sangat wajar dan pantas karena malaikat hanya diberi akal oleh Allah. Sedangkan manusia jika senantiasa bisa beribadah kepada Allah, ini artinya ia telah berusaha sekuat tenaga di dalam mengelola syahwatnya atau mengekang hawa nafsunya. Manusia jenis ini sama dengan telah memfungsikan akalnya untuk menerangi dirinya dengan menghindari segala perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan melakukan segala yang diperintahkan-Nya.
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
 

Jamaah Idul Fitri yang berbahagia
Selama bulan Ramadan kita semua telah diwajibkan berpuasa, yakni menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa. Ini artinya kita telah diberi kesempatan oleh Allah untuk memfungsikan akal kita atau “entitas kemalaikatan” yang berada di dalam diri kita untuk mengelola syahwat atau hawa nafsu.
 

Karena itu patut berbahagialah dan bersyukur kepada Allah swt jika selama satu bulan penuh kita telah menjalankan puasa, tapi dalam waktu bersamaan kita harus waspada terhadap diri kita masing-masing dalam menghadapi hari-hari yang akan kita jalani. Jangan sampai puasa yang telah kita lakukan tidak meninggalkan bekas apa-apa di dalam jiwa kita, karena sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran bahwa tujuan diwajibkannya puasa supaya menjadi orang yang bertakwa, laa‘allakum tattaqun.
 

Bulan Ramadhan adalah madrasah untuk mendidik hawa nafsu. Jika setelah melewati Ramadhan seseorang masih menjadi budak hawa nafsunya berarti ia tidak lulus dalam menjalani pendidikan spiritual di dalam bulan puasa. Sebaliknya, jika perilaku seseorang mencerminkan sebagai pribadi yang bertakwa, yakni menjadi orang yang bijaksana, dapat mengelola dan mengendalikan syahwatnya, maka pertanda orang itu telah lulus di dalam menjalani penempaan diri selama satu bulan penuh.
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ

 

Hadirin, hadirat yang dimuliakan Allah

Dalam sebuah hadits diceritakan, ketika ada sebagian sahabat selesai melakukan jihad atau berperang melawan orang-orang kafir, Nabi Muhammad saw menyampaikan ucapan selamat datang kepadanya sembari mengingatkan perlunya menjalankan jihad yang lebih besar. Lalu sebagian sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa maksud daripada jihad yang lebih besar? “Rasulullah saw menjawab: “Perang melawan hawa nafsu.”

 

Dalam hadits lain dikatakan, Nabi Muhammad saw bersabda:
 

اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِيْ طَاعَةِ الله

 

Artinya, “Mujahid atau orang yang berjihad adalah orang yang memerangi hawa nafsunya karena taat kepada Allah.”
 

Imam Al-Ghazali di dalam karyanya, Ihya` ‘Ulumiddin, menyampaikan, ulama dan ahli hikmah sepakat bahwa tidak ada cara lain untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kecuali dengan menahan hawa nafsu dan mengekang syahwat. Dalam Al-Quran surat An-Nazi‘at ayat 40-41 dinyatakan:
 

وَأَمَّا مَنْ خافَ مَقامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوى

 

Artinya, “Orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga menjadi tempat tinggalnya.”
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وللهِ الحمدُ
 

Hadirin, hadirat, rahimakumullah

Puasa sebulan penuh yang telah kita jalani harus kita pahami sebagai bekal memasuki bulan-bulan berikutnya. Dengan berpuasa, kita terlatih dan terbiasa di dalam menahan keinginan-keinginan hawa nafsu. Karenanya, pada hari ini, hari yang meskipun kita semua dilarang berpuasa, tetapi tetap harus menjadi permulaan di dalam aktivitas menahan hawa nafsu sebagai bentuk revolusi spiritual setelah menjalani puasa di bulan Ramadan.
 

Jiwa yang bersih ada pada orang yang berhasil menahan hawa nafsunya. Dalam jiwa yang bersih akan lahir perilaku-perilaku terpuji, baik dalam interaksi kepada Allah (hablum minallah) maupun dalam berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan nass). Jika seseorang memiliki jiwa yang bersih maka ia tak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan kepada sesama.
 

Dalam tradisi kita, setelah bulan Ramadhan kita memiliki tradisi halal bihalal, yakni kegiatan silaturahmi sebagai bentuk persaudaraan, dan kegiatan sungkeman serta saling bermaaf-maafan sebagai perwujudan bahwa kita tidak boleh memendam rasa permusuhan, dengki, dendam, dan sifat-sifat buruk lainnya yang bisa mengotori jiwa dan berdampak menghancurkan tatanan serta kerukunan di dalam masyarakat.
 

Walhasil, dengan hari raya ini, marilah kita sama-sama berdoa kepada Allah semoga puasa yang telah kita jalani diterima oleh-Nya, dan berbekas kepada diri kita di dalam menjalani hari-hari berikutnya, yakni menjadi manusia yang selalu kuat di dalam menahan diri dari berbagai kesenangan hawa nafsu.
 

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى، وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى، بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا، وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى. جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ، وَأَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِهِ الصَّالِحِيْنَ. وَاَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا، وَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، فَاسْتَغْفِروهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
 

 

Khutbah Kedua
 

اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ. اللهُ أكبرُ، وللهِ الحَمْدُ
 


الْحَمْدُ لِلَّهِ الرَّحِيمِ الرَّحْمَنِ، أَمَرَ بِالتَّرَاحُمِ وَجَعَلَهُ مِنْ دَلاَئِلِ الإِيمَانِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ الْمُتَوَالِيَةِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، الرَّحْمَةُ الْمُهْدَاةُ، وَالنِّعْمَةُ الْمُسْدَاةُ، وَهَادِي الإِنْسَانِيَّةِ إِلَى الطَّرِيقِ الْقَوِيمِ، فَاللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ، وَعَلَى مَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ
 


أَمَّا بَعْدُ: فَأُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ. إنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلَائِكَتِهِ، فقَالَ تَعَالَى: إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. وقالَ رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْراً. اللَّهُمَّ صلِّ وسلِّمْ وبارِكْ علَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ الْأَكْرَمِيْنَ، وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ الْاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ
 


اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ، وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
 


عِبَادَ اللهِ ، إِنَّ اللهَ  يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
 

 

Dr. KH. Rofiq Mahfudz, M.Si., Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah dan Pengasuh Pesantren Ar-Rais Cendikia Kota Semarang.