Syariah

Hal-hal yang Membolehkan Shalat Jumat di Suatu Daerah Ditiadakan

Kam, 19 Maret 2020 | 02:00 WIB

Hal-hal yang Membolehkan Shalat Jumat di Suatu Daerah Ditiadakan

Shalat Jumat di suatu daerah boleh ditiadakan ketika terdapat "masyaqqah" (kondisi memberatkan).

Shalat Jumat merupakan ritual wajib bagi Muslim laki-laki di setiap minggunya. Salah satu hikmah disyariatkannya Jumat adalah menjaga kerukunan dan kekompakan di antara sesama Muslim. Minimal satu kali dalam seminggu mereka bisa bertemu dan bertatap muka setelah setiap harinya sibuk dengan profesi dan pekerjaan masing-masing.

 

Sebegitu pentingnya Jumatan, hingga Nabi menyabdakan bahwa orang yang meninggalkan Jumat tiga kali beturut-turut, Allah membekukan hatinya. Ketika hati sudah beku, pertanda susah menerima nasihat dan kebenaransemoga Allah melindungi kita darinya. Hanya saja, dalam kondisi tertentu, syariat membolehkan shalat Jumat di suatu daerah ditiadakan. Berikut ini penjelasannya.

 

Pertama, jumlah jamaah Jumat tidak memenuhi kuota. Minimal jumlah jamaah Jumat yang mengesahkan Jumatan menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i adalah 40 laki-laki Muslim (sudah termasuk imam) daerah setempat yang bertempat tinggal tetap. Jika kuota jamaah Jumat tidak mencapai jumlah tersebut, misalnya di daerah minoritas Muslim, maka Jumatan boleh ditiadakan. Warga Muslim setempat tidak berkewajiban Jumatan.

 

Guru besar ulama mazhab Syafi’i, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan:

 

فإن كانوا أقل من أربعين أو أهل خيام مثلا ونداء بلد الجمعة يبلغهم لزمتهم وإن لم يبلغهم فلا لخبر الجمعة على من سمع النداء رواه أبو داود بإسناد ضعيف لكن ذكر له البيهقي شاهدا بإسناد جيد

 

“Bila mereka kurang dari 40 orang atau statusnya penduduk perkemahan, sementara adzan tempat berlangsungnya Jumat sampai pada mereka, maka wajib bagi mereka untuk berjumatan (ke daerah tetangga tersebut), bila tidak terdengar adzan, maka tidak wajib Jumatan. Karena hadits Nabi, shalat Jumat wajib atas orang yang mendengar adzan. Hadits riwayat Abu Daud dengan sanad yang lemah, namun Imam al-Baihaqi menyebutkan dalil pendukung bagi hadits tersebut dengan sanad yang baik (hasan). (Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, halaman 263).

 

Kedua, hujan lebat. Disebutkan dalam Shahih Muslim:

 

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: " إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ "، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِ»

 

“Dari Abdillah bin Abbas, beliau berkata kepada juru adzannya di hari-hari penuh hujan, ‘Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lâ ilâha illallâh, asyhadu anna muhammadan rasûlullâh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan hayya ‘alash shalâh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan shallû fî buyûtikum (shalatlah di rumah-rumah kalian).’ Juru adzan berkata, ‘Sepertinya orang-orang mengingkari pandangan tersebut. Ibnu Abbas menjawab, Apakah engkau merasa aneh dengan ini? Sungguh telah melakukan hal tersebut orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya Jumatan adalah hal yang wajib, namun aku benci memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di lelumpuran dan jalan yang rawan terpeleset.” (HR Muslim).

 

Hadits tersebut menunjukan bahwa hujan menjadi sebab diringankannya urusan jamaah dan Jumatan. Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam penjelasan hadits di atas:

 

هذا الحديث دليل على تخفيف أمر الجماعة في المطر ونحوه من الأعذار

 

“Hadits ini menunjukan diringankannya urusan jamaah disebabkan hujan dan sejenisnya dari beberapa uzur” (Syekh al-Nawawi, Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, hal. 207).

 

Hujan bisa menjadi uzur atau alasan untuk tidak digelarnya shalat Jumat bila memberatkan seseorang keluar rumah. Sehingga, tidak termasuk uzur bila hanya gerimis-gerimis kecil, atau hujan lebat tapi ada kemudahan akses untuk sampai ke masjid.

 

Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:

 

ويشترط حصول مشقة بالخروج مع المطر كما صرح به الرافعي في الكلام على المرض فلا يعذر بالخفيف ولا بالشديد إذا كان يمشي في كن

 

“Dan disyaratkan ada masyaqqah (hal yang memberatkan) dengan keluar saat hujan seperti yang ditegaskan Imam al-Rafi’i dalam pembahasan sakit, maka tidak dimaafkan hujan yang ringan dan lebat bila ia dapat berjalan di bawah atap” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 1, hal. 473).

 

Ketiga, becek yang parah. Menurut pendapat shahih dalam mazhab Syafi’i, becek yang parah termasuk uzur, karena haditsnya Ibnu Abbas dalam riwayatnya Imam Muslim di atas. Alasan lainnya, becek yang parah lebih besar taraf masyaqqah-nya dari hujan. Yang dimaksud becek parah adalah kondisi becek yang rawan mengakibatkan kotornya pakaian dan kaki.

 

Syekh al-Damiri mengatakan:

 

(وكذا وحل شديد على الصحيح) فهو عذر وحده ليلا ونهارا، لحديث ابن عباس المتقدم، ولأنه أشق من المطر. والثاني: لا؛ لإمكان الاحتراز عنه بالنعال ونحوها. والمراد بـ (الوحل الشديد): الذي لا يؤمن معه التلويث وإن لم يكن متفاحشا.

 

“Demikian pula becek yang parah menurut pendapat yang shahih, maka termasuk uzur di malam dan siang hari, karena hadit riwayat Ibnu Abbas yang terdahulu, dan karena becek lebih berat dari hujan. Menurut pendapat kedua, bukan uzur, karena bisa dihindari dengan memakai sandal dan semisalnya. Maksud dari becek parah adalah becek yang tidak aman besertaan dengannya mengotori meski tidak sampai pada taraf yang sangat parah” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, al-Najm al-Wahhaj, juz 2, hal. 339).

 

Keempat, angin kencang. Para ahli fiqih sebenarnya membatasi keringanan shalat jamaah pada alasan angin yang terjadi di malam hari, sedangkan angin kencang di siang hari tidak termasuk uzur karena taraf masyaqqah-nya masih di bawah angin kencang di malam hari. Sehingga, hal ini tidak bisa diterapkan dalam bab Jumat yang notabenenya dilaksanakan di siang hari (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani, juz 3, hal. 46, cetakan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut Lebanon).

 

Bila mencermati alasan tersebut, tidak menutup kemungkinan bila terjadi angin sangat kencang yang taraf masyaqqah-nya sebanding atau bahkan melebihi angin kencang di malam hari, juga bisa menjadi uzur meninggalkan Jumat.

 

Hujan lebat, becek parah, dan angin kencang menjadi uzur sekiranya mengakibatkan masyaqqah (kondisi memberatkan) yang menghilangkan kekhusyukan atau kesempurnan khusyuk di dalam shalat. Syekh al-Qalyubi mengatakan:

 

قوله: (ولا رخصة في تركها إلا بعذر) وهو ما يذهب الخشوع أو كماله، والتعليل بغيره للزومه له.

 

“Tidak ada keringanan dalam meninggalkan jamaah (dan Jumat) kecuali karena uzur, yaitu perkara yang menghilangkan khusyuk atau kesempurnaannya. Membuat alasan dengan selain pengertian ini, karena keduanya saling terkait” (Syekh al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz 1, hal. 260).

 

Peniadaan Jumatan karena Virus/Penyakit

Selain faktor yang telah disebutkan di atas, sebetulnya masih ada beberapa penyebab diperbolehkan meninggalkan Jumatan, namun tidak berlaku umum untuk seluruh warga Muslim setempat, melainkan dikembalikan kepada individu setiap orang, tidak bisa digeneralisasikan. Para pakar fiqih mengategorikannya dalam uzur yang khusus, yaitu uzur yang hanya berlaku untuk personal, bukan jamaah.

 

Seperti sakit atau khawatir tertular penyakit bagi diri sendiri, hal ini dapat menjadi uzur yang memperbolehkan meninggalkan Jumat dan jamaah, sebagaimana penjelasan yang dipaparkan dalam referensi berikut ini:

 

ويعذر في ترك الجمعة والجماعة، المريض. بلا نزاع، ويعذر أيضا في تركهما لخوف حدوث المرض.

 

“Orang sakit dimaafkan (boleh) meninggalkan shalat Jumat dan jamaah—tak ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Dan dimaafkan pula dalam meninggalkan Jumat dan jamaah karena khawatir terkena sakit” (Syekh al-Mardawi, al-Inshaf, juz 4, hal. 464).

 

Referensi dari mazhab Hanbali tersebut secara tegas menstatuskan kekhawatiran tertimpa penyakit sebagai uzur Jumat dan jamaah. Hanya saja, referensi tersebut hanya berlaku dalam konteks individu. Artinya, tidak berlaku umum untuk setiap orang, harus melihat kondisi imunitas masing-masing dan seberapa kuat potensi bahaya menularnya sebuah penyakit agar bisa sampai pada taraf “khauf/ kekhawatiran”.

 

Yang dimaksud “khauf” dalam umumnya redaksi fiqih, tidak sebatas kekhawatiran tanpa dasar, namun disertai indikasi yang mengantarkan kepada zhan (dugaan) atau yakin dapat mengganggu kesehatan sesuai petunjuk medis.

 

Hal lain yang menjadi penyebab bolehnya meninggalkan Jumat bagi individu adalah risiko menularnya sebuah penyakit ke jamaah lain. Misalnya penderita lepra atau kusta, ia tidak terkena kewajiban Jumat, bahkan wajib dikarantina, diberi tempat khusus agar penyakitnya tidak menular ke orang sehat dan pemerintah atau orang Muslim yang kaya memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan hidupnya. Tema terakhir ini sudah pernah kami singgung dalam artikel berjudul “Pengidap Penyakit Menular Dilarang Shalat Jumat?”.

 

Namun sekali lagi, kasus tersebut kembalinya kepada individu, yaitu uzur meninggalkan Jumatan hanya berlaku untuk warga yang positif mengidap penyakit menular, tidak berlaku untuk semua warga (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj Hamisy Hasyiyah al-Syarwani [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah], juz 3, hal. 54).

 

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pendapat yang memperkenankan peniadaan Jumatan secara massal saat wabah virus menjangkit, langkah yang ditempuh seharusnya mengidentifikasi setiap warga apakah positif terkena virus atau aman darinya, bukan menggeneralisasi libur Jumatan secara massal tanpa memilah dan memilih. Muslim yang positif terkena virus (yang bisa menular lewat kedekatan fisik), wajib diisolasi dan dilarang Jumatan, sementara warga Muslim yang sehat tetap berkewajiban Jumatan selama tak khawatir terdampak virus berdasarkan informasi medis.

 

Merujuk kepada kaidah fiqih bahwa:

 

اليقين لا يزال بالشك

 

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”

 

Dalam konteks peliburan Jumatan secara massal, kewajiban Jumatan sudah jelas dan tidak bisa ditunda-tunda, sementara uzur yang membolehkan untuk meninggalkannya masih diragukan.

 

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

 

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.