Syariah

Perempuan Haid Mendampingi Orang Sakaratul Maut?

Rab, 29 Januari 2020 | 03:30 WIB

Perempuan Haid Mendampingi Orang Sakaratul Maut?

Sakaratul maut merupakan momen krusial karena di saat itulah seseorang membutuhkan dampingan dan talqin dzikir.

Islam mengajar nilai wasathiyah (moderasi). Ia tidak terlalu ke kanan, tidak pula terlalu kiri. Misalnya saja dalam masalah wanita haid. Yahudi mempunyai aturan, setiap wanita yang haid harus dijauhi dalam segala hal; tidak boleh tinggal serumah dengannya, tidak boleh makan hasil olahannya, dan lain sebagainya.

 

Nasrani sebaliknya. Ia tidak punya aturan mengikat sama sekali perihal haid. Wanita haid bebas melakukan apa pun, termasuk berhubungan badan dengan suami. Setidaknya ini terjadi pada masa Arab jahiliyah. Sehingga hal ini yang menyebabkan sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad perihal haid. Kemudian turun ayat:

 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS Al-Baqarah: 222).

 

Kemudian Nabi juga bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas dalam sebuah hadits yang panjang:

 

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

 

Artinya: “Lakukan apa pun kecuali bersenggama” (HR. Muslim).

 

 

Selain bersenggama, wanita haid juga diharamkan beberapa hal. Di antaranya adalah diam di dalam masjid, menyentuh Al-Qur’an, puasa, dan thawaf. Lalu bagaimana hukumnya jika ada wanita haid menunggui orang yang sedang sakaratul maut?

 

Di sini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut pendapat kuat yang dibuat pegangan (mu’tamad), wanita haid dan nifas tidak diharamkan mendampingi orang yang sedang sakaratul maut. Pendapat ini berbeda dari pernyataan dalam kitab al-Ubab karya Ibnu Hajar al-Haitami dan pendapat dalam kitab Raudhatut Thalib karya Ibnul Muqri al-Yamani.

 

Ulama yang melarang itu beralasan bahwa orang yang sedang sekarat membutuhkan kehadiran malaikat rahmat untuk menemani keluarnya ruh, supaya meninggal dalam keadaan Islam, tidak tergelincir oleh gangguan setan. Kehadiran orang haid dianggap akan menjadikan malaikat rahmat tidak mau mendekat.

 

وَلَا يَحْرُمُ عَلَى الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ حُضُورُ الْمُحْتَضَرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ خِلَافًا لِمَا فِي الْعُبَابِ وَالرَّوْضِ وَعَلَّلَهُ بِتَضَرُّرِهِ بِامْتِنَاعِ مَلَائِكَةِ الرَّحْمَةِ مِنْ الْحُضُورِ عِنْدَهُ بِسَبَبِهَا.

 

Artinya: “Tidak diharamkan bagi orang yang haid dan nifas untuk menghadiri orang yang sedang sekarat, menurut pendapat mu’tamad. Berbeda dari pernyataan dalam kitab al-Ubab dan Raudlatuh Thalib. Alasannya karena ada efek buruk, yakni malaikat rahmat tidak mau datang ke tempat tersebut” (Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah Al-Bujairami Alal Khathib, [Darul Fikr: 1994], juz 1, hlm. 354).

 

Menurut analisis penulis, pendapat mu’tamad yang tak melarang perempuan menstruasi mendampingi orang sekarat tentu mempunyai alasan tersendiri. Tidak ditemukan nash sharih (tegas), baik dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang, sehingga tidak ada keharaman sama sekali. Apabila dilarang dan kemudian menjadi syari’at, mungkin akan merepotkan seseorang yang sedang sekarat, apalagi ketika hanya satu wanita haid yang menunggu. Bila tidak ada yang menemani dan menuntun ( talqin ) dzikir, tentu akan lebih berisiko.

 

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa boleh perempuan haid atau nifas menunggu orang sekarat, menurut pendapat yang terkuat, sedangkan sebagian ulama menyatakan tidak boleh. Wallahu a’alam.

 

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang