Internasional

Tak Pulangkan Eks ISIS, Pemerintah Perlu Pikirkan Nasib Anak-anak

Sel, 11 Februari 2020 | 15:30 WIB

Tak Pulangkan Eks ISIS, Pemerintah Perlu Pikirkan Nasib Anak-anak

Seorang anak ISIS (Foto: BBC)

Jakarta, NU Online
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD secara resmi menyatakan tidak akan memulangkan eks anggota ISIS. Hal itu disampaikan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/2).
 
Namun, di antara mereka masih terdapat anak-anak. Mahfud juga menyebut bahwa pemerintah masih mempertimbangkan untuk memulangkan atau tidak anak-anak tersebut.
 
Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia Ruby Khalifah menyampaikan bahwa pemerintah dalam hal ini harus melakukan pendataan secara rinci agar dicarikan opsi pemulangan bagi mereka untuk dilakukan rehabilitasi.
 
"Kita berharap pemerintah mau mempertimbangkan opsi ini untuk benar-benar mengakses melakukan pendataan kepada anak-anak selain orang dewasa. Di anak-anaknya sendiri benar-benar dilihat, dicari opsi untuk memungkinkan mereka pulang untuk direhabilitasi," ujarnya.
 
Pasalnya, di kalangan anak-anak sendiri juga terdapat kombatan yang tidak bisa dianggap enteng. "Anak-anak sebagai kombatan itu juga tidak bisa dianggap enteng. Memisahkan antara kombatan sama enggak, itu penting banget. Bisa orang dewasa laki-laki orang dewasa perempuan dan kombatan anak-anak," ujarnya.
 
Karenanya, ia kembali menegaskan bahwa tidak semua anak-anak dijadikan sebagai kombatan. Munculnya video anak-anak sedang berlatih perang dengan membawa persenjataan lengkap itu, menurutnya, merupakan propaganda. "Asesmen secara detail perlu dipikirkan agar benar-benar bisa dapat saringannya," ujarnya.
 
Sebab, menurutnya berdasarkan UU Perlindungan Anak, mereka adalah korban. "Dalam UU perlindungan anak, posisi anak itu posisi korban karena posisi dia adalah posisi yang tidak mengambil keputusan sendiri pergi. Dalam konteks UU Perlindungan Anak, dia tetap korban karena dia belum bisa berpikir jernih. Jadi, kalau dia mengambil keptusan maka bukan keputusan yang dewasa," kata Ruby.
 
Ia membenarkan ada kasus seperti Dania. Anak berusia 17 tahun itu membawa 26 anggota keluarganya. Namun, ia menekankan bahwa jika saja orang tuanya mencegahnya, hal tersebut tidak akan terjadi.
 
"Nah justru di sinilah perlu kita waspadai dan hati-hati bahwa Dania kalau tidak diizinkan orang tua, kalau tidak ada yang dukung dari pihak keluarganya, dia tidak akan pergi sebenarnya," ujarnya.
 
Karenanya, kontrol keputusan anak itu ada pada orang tua. Pasalnya, jelas Ruby, anak belum memiliki nalar yang cukup untuk membedakan mana yang baik dan tidak.
 
Ruby mengungkapkan bahwa rata-rata anak-anak tinggal di kamp pengungsian dengan kondisi yang sangat terbatas. Jumlah kamp yang terbatas, sedangkan penggunanya yang cukup banyak, ditambah kesulitan air dan makanan, sekaligus tidak adanya fasilitas kesehatan dan obat-obatan yang memadai. 
 
"Bahkan dilaporkan sekitar tahun 2019 yang saya cuplik dari Habibi Center, 300 anak meninggal pada awal tinggal di center karena fasilitas yang sangat terbatas," ujarnya.
 
Anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu meminta agar pemerintah fokus perhatiannya pada anak-anak. "Saya rasa, memberikan saran perhatian pemerintah bisa difokuskan pada anak-anak," pungkasnya.
 
Pewarta: Syakir NF
Editor: Kendi Setiawan