Internasional

Perlu Rekontekstualisasi Agama-agama Ibrahimiyah di Abad 21

Jum, 17 Januari 2020 | 09:00 WIB

Perlu Rekontekstualisasi Agama-agama Ibrahimiyah di Abad 21

Katib Aam PBNU KH Yahya C. Staquf (berkopiah hitam) bersama para peserta pertemuan agama-agama ibrahimic di Vatican (Foto: Istimewa)

Vatikan, NU Online
Dalam Forum Inisiatif Agama-agama Ibrahimiyah (Abrahamic Faiths Initiative - AFI) di Vatikan, tanggal 14-16 Januari, Katib Aam PBNU KH Yahya C. Staquf mengajak para pemimpin agama untuk melakukan refleksi sejujur-jujurnya tentang posisi teologis agama masing-masing dalam upaya perdamaian.

ā€œHarus diakui, ada norma-norma ortodoksi yang memang masih mendorong segregasi, diskriminasi dan konflik,ā€ kata kiai yang akrab disapa Gus Yahya ini. ā€œNorma-norma itu harus dihadapkan dengan konteks realitas globalisasi abad ke-21 ini, yaitu bahwa konflik antaragama tidak mungkin lagi dilokalisir sehingga akan memicu benturan universal yang kaotik dan sudah pasti pada ujungnya akan meruntuhkan seluruh peradaban dunia.ā€

Gus Yahya kemudian memaparkan upaya-upaya rekontekstualisasi fiqih yang telah dilakukan di lingkungan NU sejak 1984, yaitu ketika Rais Am KH Achmad Shiddiq meletakkan kerangka teologis bagi ukhuwwah basyariyyah atau persaudaraan sesama umat manusia.

ā€œPada bulan Februari 2019 yang lalu, Musyawarah Nasional Alim-ulama NU menetapkan bahwa kategori kafir tidak lagi relevan untuk di ruang publik dalam konteks negara-bangsa modern. Dimensi sosial-politik dari terma kafir sebenarnya terkait konteks keberadaan satu teokrasi tunggal yang universal, yang sekarang sudah tidak ada lagiā€.

Monsignor Khaled Akasheh, seorang uskup Katholik asal Yornadia, menyatakan amat terharu mendengar semua paparan itu.

ā€œIni adalah perwujudan mimpi saya selama 25 tahunā€, katanya.

Selanjutnya ia menegaskan bahwa bukan hanya Islam yang perlu melakukan rekontekstualisasi semacam itu, semua agama-agama dari keluarga Ibrahimiyah harus melakukannya. Ia pun menjelaskan bahwa Gereja Katholik telah memulai upaya yersebut sejak didirikannya Dewan Ekumenikal Vatikan Kedua pada masa Paus Johanes XXIII, tahun 1962.

ā€œAgama-agama Ibrahimiyyah harus merenungkan kembali hakikat kehadiran dan perannya dalam konteks realitas Abad ke-21 ini,ā€ tegasnya.

Wakil dari kalangan Yahudi ultra-ortodoks Israel serta-merta menyambut ajakan itu dengan antusias. Rabinat Adina Bar-Shalom, puteri mendiang Rabi Ovadia Yosef yang dulu adalah Rabbi Kepala (Chief Rabbi) Sephardi yang paling berpengaruh di kalangan Yahudi ultra-ortodoks di Israel, mengajak untuk menciptakan momentum bersama, misalnya dengan menggalang pertemuan pemimpin-pemimpin agama Ibrahimiyah untuk mendialogkan topik tersebut. Ia bertekad untuk memobilisasi seluruh komunitas Yahudi ortodoks di Israel untuk ikut serta dan sungguh-sungguh terlibat dalam pergulatan rekontekstualisasi itu.

Dengan emosional ia mengatakan, ā€œSegala kekerasan dan pembunuhan ini harus dihentikan! Seluruh hamparan tanah di muka bumi ini tak sebanding nilainya dengan satu nyawa manusia!ā€

Di akhir forum disepakati bahwa dalam 45 hari ke depan akan diumumkan negara mana yang akan menjadi tujuan kiprah AFI, yaitu setelah mendapatkan persetujuan dari otoritas setempat.

Editor: Abdullah Alawi
Ā