Internasional

Pelaku Pemenggalan Kepala di Prancis Diduga Kuat Kombatan ISIS

Sen, 2 November 2020 | 18:40 WIB

Pelaku Pemenggalan Kepala di Prancis Diduga Kuat Kombatan ISIS

Pengamat Terorisme dan Konflik Global, Soffa Ihsan mengatakan berdasarkan analisa yang dilakukan lembaganya, ada dugaan kuat pelaku pemenggal kepala guru di Prancis merupakan keluarga mantan kombatan ISIS, . (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Dunia masih dihebohkan dengan kasus pemenggalan kepala seorang guru di Prancis oleh imigran asal Afganistan. Peristiwa itu mengakibatkan Prancis dan negara-negara Muslim bersitegang. Tak hanya itu, penduduk Muslim di Prancis dikabarkan mendapatkan perlakuan berbeda setelah terjadinya peristiwa yang berawal dari ditampilkannya karikatur Nabi Muhammad SAW tersebut. 

 

Pengamat Terorisme dan Konflik Global, Soffa Ihsan mengungkap fakta lain dari peristiwa tersebut. Kata dia, berdasarkan analisa yang dilakukan lembaganya, ada dugaan kuat pelaku pemenggal kepala guru di Prancis merupakan keluarga mantan kombatan ISIS, salah satu kelompok Islam radikal yang kerap meresahkan dunia. 

 

"Pelaku adalah anak imigran yang dulunya kombatan di Afghanistan untuk melawan Komunis Rusia dan didukung koalisi Barat. Lalu mereka ditolak pulang ke negaranya dan hijrah ke Eropa beranak pinak. Ini bagai api dalam sekam," tutur Soffa Ihsan yang juga ketua Lembaga Daulat Bangsa (LDB) ini, Rabu (4/11). 

 

Gus Soffa menerangkan, tindakan pembunuhan oleh seorang anak di Prancis jelas bukan ajaran Islam. Karena itu, stigma buruk kepada Islam seharusnya tidak muncul manakala persoalan itu mencuat di publik. Kata dia, apa yang dilakukan anak mantan kombatan ISIS tersebut adalah teror. 

 

Dia berharap umat Islam menyikapinya dengan bijak, sebab, salah satu tujuan teroris adalah reaksi yang menjadi-jadi dari masyarakat dunia. Umat Muslim harus memberikan sikap, tetapi tidak diperkenankan sampai membuat citra Islam buruk di mata dunia. 

 

"Selain itu, dalam pantauan kami, umat Islam di eropa sebenarnya sudah menikmati kebebasan seperti mendirikan masjid dan lmbaga pendidikan. Bahkan tak sedikit umat Islam yang menduduki jabtan penting di pemerintahan," tuturnya.

 

Kondisi ini, lanjutnya, juga harus diketahui umat Muslim di dunia. Sehingga dalam kondisi seperti ini pula masyarkaat tetap menumbuhkan insight untuk hidup berdampingan dengan masyatakat Eropa seperti Prancis. 

 

Sebagaimana kita ketahui, tersangka bernama Abdoullakh Anzorov yang ditembak mati polisi. Ia adalah remaja 18 tahun yang lahir di Moskwa tapi berasal dari Chechnya, selatan Rusia. Menurut jaksa antiteror Jean-Francois Ricard, tersangka telah diberikan status pengungsi di Perancis dan mendapat izin tinggal 10 tahun sejak awal 2020. 

 

Badan intelijen tidak mengenalnya dan tidak ada catatan tentangnya, tapi jaksa menerangkan Abdoullakh pernah merusak fasilitas umum dan melakukan tindak kekerasan saat masih di bawah umur. 

 

Menurut Ricard, ada seorang ayah dari salah satu murid di sekolah itu yang menggalang kampanye online agar Paty dipecat akibat kasus kartun tersebut. Dia menemui kepala sekolah dan di media sosial menyerukan serangan ke Paty lalu bersikeras sudah saatnya 'menghentikan' perilaku seperti itu. 

 

Kemudian, bukti awal menunjukkan pelaku mondar-mandir di luar sekolah pada Jumat sore dan bertanya ke sejumlah murid di mana dia bisa bertemu Paty. Sejauh ini tidak ada indikasi adanya hubungan antara pelaku dengan sekolah. Total sembilan orang telah ditahan untuk diinterogasi, termasuk sang ayah yang mengajukan komplain terhadap Paty.

 

Fakta lain menyebutkan, saudara tiri perempuan orang tua itu bergabung dengan ISIS di Suriah pada 2014 dan telah menjadi subyek surat perintah penangkapan. Seorang pria lain yang ikut berpartisipasi dalam video yang diunggah ayah tersebut untuk meminta Paty dipecat juga sudah ditahan bersama istrinya. 

 

Pria itu menemani si ayah untuk mengajukan komplain ke Samuel Paty. Sementara itu empat kerabat tersangka yakni adik laki-laki, kakek, dan kedua orangtuanya juga ditahan untuk diinterogasi.

 

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan