Nasional

Soal Prancis, Gus Yahya Tegaskan Perlunya Konsensus Global

Rab, 4 November 2020 | 02:00 WIB

Soal Prancis, Gus Yahya Tegaskan Perlunya Konsensus Global

Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf.

Jakarta, NU Online
Peristiwa konflik berdarah di Prancis menyisakan problematika yang cukup rumit. Berbagai masalah saling tumpang tindih. Konflik horizontal seperti ini pun tidak terjadi di Prancis saja, tetapi di banyak negara lain, seperti Amerika Serikat, konflik seperti ini juga terjadi.


Melihat hal demikian, Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menegaskan perlunya konsensus bersama untuk menyelesaikan problematika yang melanda dunia secara global tersebut.


“Ini kita harus mengembangkan wawasan baru, kemudian memperjuangkan konsensus secara global,” katanya saat galawicara Peci dan Kopi bertema Islam and Blasphemy yang digelar 164 Channel dengan NU Online pada Selasa (3/11).


Pasalnya, lanjut kiai yang akrab disapa Gus Yahya tersebut, hal ini terkait dengan wawasan yang terlanjur mapan, termasuk mengenai status kafir dan penghinaan yang dianggap sebagai kebebasan. “Itu sebabnya, kita sebetulnya memerlukan wawasan alternatif, diskursus alternatif yang cukup mendasar,” ujarnya.


Dalam segi diskursus, menurutnya, kita sampai hari ini belum punya wawasan komprehensif. Pada konteks usul fiqih, misalnya, Gus Yahya mengatakan belum ada ruang cukup untuk mempertimbangkan perubahan konteks realitas.


“Usul (fiqih) kita ini lebih banyak bersifat mantiqi sekali dan pertimbangan konteks perubahan realitas ini belum punya cukup punya ruang. Ini perlu dikembangkan,” ucapnya.


Dalam konteks yang lebih luas, ia menyebut perlunya transformasi pola berpikir masyarakat. Namun, problemnya sekarang ini adalah bahwa jika hendak membangun wawasan keislaman yang baru, kita sekarang tidak lagi punya struktur otoritas keagamaan yang terkonsolidasi.


Oleh karena itu, menurutnya, perlu mengklaim otoritas kita sendiri, bahwa kita punya struktur otoritas sendiri, tidak perlu tergantung dari fatwa ulama manapun. Meskipun demikian, dalam konteks global, kita perlu bicara dengan semua otoritas Islam yang ada di berbagai belahan dunia Islam untuk mencapai konsensus-konsensus. “Ini persoalan yang harus kita angkat karena ini konsekuensinya riil,” katanya.


Untuk hal ini, Gus Yahya juga melihat persoalan lain, yakni proses integrasi di antara komunitas yang amat beragam. Jadi, problem dan kegelisahan Islam sekarang ini soal bagaimana dunia Islam ini terintegrasi harmonis dan damai dengan dunia lainnya.


Konstruksi yang bakal dimasuki Islam itu perlu berterima. Melihat prinsip yang dipegang kuat Prancis sendiri, Gus Yahya mengaku keberatan bahwa Islam harus menyesuaikannya tanpa ada perubahan sehingga perlu ada negosiasi.


“Ini perlu dialog, perlu tawar-menawar, perlu negosiasi sampai dunia ini bisa mencapai konsensus,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.


Secara jujur, memang umat Islam memiliki elemen yang bermasalah di dalam wawasan pola pikirnya. Karenanya, ia menegaskan perlu mencari konsensus dengan harus melakukan penyesuaian yang diperlukan.


Berpikir ulang atas syariat Islam dan nilai kewargaan Prancis


Senada dengan Gus Yahya, Lurah Ngaji Ihya Ulumiddin Ulil Abshar Abdalla menyebut perlunya umat Islam memikirkan ulang atas teks yang menyebut penghina Nabi harus dibunuh yang tentu bermasalah dalam konteks saat ini.


Sebaliknya, Prancis juga perlu berpikir ulang mengenai konsep Laicite (pemisahan negara dan agama) yang menjadi ideologi bernegaranya. “Tetapi, iadatuttafkir ini perlu dilakukan juga oleh pihak Prancis sendiri. Apakah betul Laicite yang keras seperti ini masih relevan sekarang?” katanya.


Sebab, ia melihat adanya standar ganda dalam melihat kasus di Prancis. Gus Ulil, sapaan akrabnya, mencontohkan kasus kelompok greywars yang pro Turki bersuara mengenai genosida Armenia dibubarkan pemerintah setempat. Sedangkan pembuatan kartun Nabi dibiarkan sebagai bentuk kebebasan berpendapat.


"Orang kiri di Prancis nggak suka orang-orang Islam melakukan rethinking, iadatuttafkir, atau membaca ulang tradisi karena itu dianggap memojokkan orang Islam. Itu islamofobia. Sementara orang Islam perlu melakukan itu. Bagi saya, kalau tidak melakukan itu, ini masalah," katanya.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin