Internasional

Jelang Konfercabis, PCINU Jepang Gelar Seminar Hukum Keagamaan  

Sen, 11 September 2023 | 17:00 WIB

Jelang Konfercabis, PCINU Jepang Gelar Seminar Hukum Keagamaan  

PCINU Jepang menggelar Seminar Hukum Keagamaan tentang “Perspektif dalam Islam Mengenai Sake, Shoyu, dan Mirin: Minuman dan Bumbu Tradisional di Jepang” pada Ahad (10/9/2023).

Jakarta, NU Online 
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang menggelar Seminar Hukum Keagamaan yang mengangkat pembahasan mengenai “Perspektif dalam Islam Mengenai Sake, Shoyu, dan Mirin: Minuman dan Bumbu Tradisional di Jepang” pada Ahad (10/9/2023) malam waktu setempat. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Konferensi Cabang Istimewa (Konfercabis) ke-2 PCINU Jepang.

 

Seminar yang digelar secara daring ini menghadirkan dua pembicara utama dari Indonesia dan Jepang yakni Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur yang juga Direktur Aswaja Center NU Jawa Timur KH Ma’ruf Khozin dan Direktur Asosiasi Muslim Jepang Ustadz Ahmad Maeno.

 

Sake, shoyu, dan mirin merupakan tiga bumbu makanan khas Jepang yang memiliki karakteristik unik. Namun, kandungan dalam bumbu tersebut perlu diperhatikan karena beberapa di antaranya mengandung material tidak halal.

 

Dalam paparannya, Kiai Khozin menjelaskan bahwa sesuatu yang memabukkan, fermentasi ataupun bahan alkohol yang berasal dari anggur, kurma, gandum, dan kacang-kacangan, maka termasuk khamar.

 

“Haditsnya sudah jelas. Kalau ada sesuatu yang dalam jumlah banyak bisa memabukkan, maka mengonsumsi sedikit pun tidak boleh. Saya bicara awal hukum secara general dulu, baru nanti masuk kepada perincian dan khilafiyah para ulama,” jelas Kiai Khozin.

 

“Anas meriwayatkan dari Nabi Muhammad saw: ‘Jika ada sesuatu dalam jumlah banyak bisa memabukkan, maka jumlah sedikit darinya adalah haram.’ Mukhtar berkata pada Anas: ‘Betul. Memabukkan adalah haram. Satu tegukkan atau dua minuman untuk makanan kami.’ Anas: ‘Khamar dari anggur, kurma, madu, gandum, dan kacang adalah khamar.’” HR Ahmad.

 

Kemudian, lanjutnya, perbedaan pendapat mulai terjadi yang diwakili dari madzhab Syafi'i oleh Imam Al-Mawardi. Imam Mawardi berdebat dengan ulama Hanafiyah yang menilai jika khamar yang memabukkan lalu dimasak dan menjadi tidak mabuk, maka boleh. Sementara itu, ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa status khamar dalam keadaan mentah dan dimasak adalah haram.

 

“Sudah maklum daging unta adalah halal maka dimasak tidak menjadi haram. Daging babi yang haram tidak berubah halal karena dimasak. Khamar dalam keadaan mentah adalah haram, maka dimasak juga haram. Hasil perasan juga haram, demikian pula mentahnya. (Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, 13/849).”

 

Meski begitu, Kiai Khozin menegaskan soal nabidz (fermentasi) dari khilafiyah ulama Hanafi tidaklah mutlak 100 persen haram. Dalam mazhab Hanafi, halal atau haramnya khamar itu dilihat dari bahan fermentasi seperti dari kacang, gandum dan lainnya.

 

“Jadi mazhab hanafi tidak mutlak semua hasil fermentasi halal, tidak. Menurut mazhab Hanafi, yang haram adalah ketika menggunakan buah dari dua buah pohon yakni pohon kurma dan anggur, kalau dari selain itu tidak apa-apa karena tidak disebut dalam hadits. Ini yang menjadi pegangan ulama Hanafi yang secara metodologi mereka lebih ke tekstual haditsnya,” jabar dia.

 

“Kalau sudah dimasak maka dalam mazhab Hanafi diperbolehkan, karena tidak haram kecuali sampai mabuk dan bendanya suci, boleh diperjual belikan kalau ada yang merusaknya maka wajib menggantinya. Ini sudah mulai ditemukan dari salah satu mazhab yang memberi keringanan, tapi tetap catatannya tidak memabukkan, sebab kalau sudah mabuk itu yang sudah jelas-jelas haram,” papar dia.

 

Pada intinya, Kiai Khozin mengatakan bahwa bagi sebagian Muslim yang tinggal di negara minoritas Muslim seperti Jepang, Jerman, dan Taiwan dengan kondisi yang sulit, hal-hal berkaitan dengan fiqih minoritas tersebut, selama masih ada pendapat yang memperbolehkan, maka dibolehkan.

 

Pada sesi tersebut, Ahmad Maeno juga menimpali bahwa pada dasarnya terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai khamar. “Pendapat fiqih terhadap minuman beralkohol khamar pada dasarnya ada dua pendapat besar, bagaimana mereka mempertimbangkan kemurnian dan ketidakmurnian minuman beralkohol,” tutur dia.

 

Ia menyebut, mayoritas ulama dari 4 mazhab menganggap khamar sebagai material haram. Sementara sebagian lainnya, memiliki pertimbangan tertentu mengenai status khamar.

 

“Mayoritas ulama menganggap najis dan selama kita berpegang pada pendapat ini maka tidak ada harapan,” ucap dia.

 

Untuk diketahui, seminar hukum keagamaan ini merupakan salah satu acara menjelang Konferensi Cabang Istimewa ke-2 PCINU Jepang. Rangkaian acara ini di antaranya sosialisasi Konfercabis 2 dan rekomendasi program kerja PCINU Jepang periode 2023-2025, rekomendasi perkumpulan, dan puncaknya pemilihan ahwa, rais syuriyah, dan ketua tanfidziah.