Internasional

Jelang Konfercab PCINU Yordania, Gus Mus Ajak Syukuri Empat Hal

Sen, 12 Oktober 2020 | 16:45 WIB

Jelang Konfercab PCINU Yordania, Gus Mus Ajak Syukuri Empat Hal

KH A Mustofa Bisri (Gus Mus). (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Yordania menggelar webinar dalam rangka Pra Konferensi Cabang (Konfercab), Sabtu (10/10). Salah satu pemateri webinar tersebut adalah Mustasyar Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).


Dalam kesempatan itu, Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah ini mengatakan bahwa salah satu krisis yang melanda manusia itu adalah krisis syukur.


“Kita itu sangat-sangat tidak bisa bersyukur. Karena memang bersyukur itu memerlukan kesadaran akan adanya anugerah,” ujar Gus Mus.


“Orang yang tidak menyadari akan adanya anugerah, ia tidak akan bersyukur. Lihat saja orang yang akan naik haji yang melakukan syukuran sampai dua kali, ketika akan berangkat dan ketika pulang haji syukuran,” lanjutnya.


Ia kemudian membandingkan acara syukuran haji dengan kenyataan belum pernah ditemukannya orang mengadakan syukuran karena shalat, padahal keduanya sama-sama rukun Islam. “Kenapa begitu, karena orang tidak melihat anugerah di dalam shalat itu,” jelas Gus Mus.


Sahabat Gus Dur ini mengatakan, sebenarnya melaksanakan shalat merupakan anugerah luar biasa. Karena shalat adalah mi’rajul mu’minin yang mana tidak ada anugerah yang melebihi mi’raj itu, bersua dengan Tuhan Yang Maha Esa. Masih banyak lagi hal lain yang tidak disyukuri karena tidak menyadari tentang anugerah yang ada.


Syukuri empat hal
Dalam kesempatan itu, Gus Mus menyampaikan bahwa ada empat hal yang harus selalu disyukuri oleh manusia. Pertama, bersyukur karena telah diciptakan menjadi seorang manusia, tidak diciptakan menjadi selain manusia seperti batu, hewan, atau hal lainnya. Untuk itu, Gus Mus mengajak para peserta webinar untuk senantiasa menjaga kemanusiaan tersebut.


“Maka seharusnya kita menjaga kemanusiaan kita. Ketika kita tidak menjaga kemanusiaan kita dengan sebenarnya, Allah memberi pelajaran yang luar biasa dahsyatnya dengan pandemi ini. Pandemi ini adalah wabah kemanusiaan. Tidak wabah etnis, bukan wabah negara, bukan wabah agama, tapi wabah bagi manusia. Semua yang namanya manusia kena semua,” tandasnya.


“Kita kalau cerdas, kita akan tahu bahwa kita sedang ditempeleng oleh Allah Ta’ala untuk diingatkan supaya bersyukur menjadi manusia,” imbuhnya.


Kedua, lanjut Gus Mus, bersyukur dipilih oleh Allah menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Jangan kira kita menjadi Islam karena fasihnya para mubaligh. Tidak. Hidayah untuk menjadi umat Nabi Muhammad itu adalah hak prerogatif Allah.


“Kalau tidak demikian, maka orang yang dicintai oleh Kanjeng Nabi Muhammad (Abu Lahab, red) pasti menjadi umatnya. Tapi tidak demikian,” bebernya.


“Ketika diajak Rasulullah untuk menyembah Allah saja, bukan hanya tidak mau, ia justru mencaci beliau. Maka, Allah membalasnya sebagaimana yang ada di surat al-Lahab. Jadi ini adalah anugerah yang luar biasa, kita dipilih oleh Allah sendiri untuk menjadi umat Nabi Muhammad,” lanjutnya.


“Ketiga, kita bukan hanya Islam. Kita mendapatkan anugerah menjadi sawadul a’dham. Saya yakin itu adalah NU. Menurut survei terakhir, jumlah anggota NU ada 80 juta. Berapa kali lipat penduduk Mesir. Berapa kali lipat penduduk Yordania. Berapa kali lipat penduduk Australia,” ucapnya seraya bertanya kepada para hadirin.


Ia kemudian menceritakan pengalamannya sewaktu berkunjung ke Madrid, Spanyol. Bahkah di sana ia menemukan ada warga lokal sana yang menjadi anggota NU.


“Alhamdulillah entah bagaimana tiba-tiba ada saja di lingkungan Nahdlatul Ulama. Ada yang di Inggris, Amerika. Bahkan ketika dulu saya di Madrid, Spanyol, di sana ada anggotanya yang orang sana, jadi bukan orang Indonesia. Ini luar biasa,” urainya.


Keempat, yang harus selalu disyukuri adalah dipilih oleh Allah menjadi warga Indonesia. Gus Mus kemudian menceritakan bahwa meskipun dirinya sering bepergian ke luar negeri, ia selalu teringat kepada Indonesia. “Karena tidak senyaman seperti di Indonesia,” kata Gus Mus.


“Nah, mensyukuri sebagai manusia dengan cara menjaga kemanusiaan. Mensyukuri keislaman dengan cara menjaga keislaman kita. Mensyukuri ke-NU-an kita dengan menjaga ke-NU-an kita. Mensyukuri keindonesiaan kita dengan menjaga keindonesiaan kita,” ujarnya.


“Menurut saya cara mensyukuri ya seperti itu. Bukan seperti kata pembawa cara yang bilang ‘Mari kita lahirkan syukur kita dengan bersama-sama membaca alhamdulillahi rabbil alamin’. Tapi seperti apa yang saya sampaikan tadi,” lanjutnya.


“Jadi, Anda itu orang Indonesia yang beragama Islam. Banyak orang yang kaget ketika kita bahasakan menjadi Islam Nusantara. Padahal itu sebetulnya tidak mengagetkan. Karena kita itu orang nusantara, kita orang Indonesia. Islam kita ya Islam Indonesia. Seperti orang Arab, Islamnya ya ala Arab,” pungkasnya.


Kontributor: Ahmad Hanan
Editor: Musthofa Asrori