Internasional

Dalam Bayang-bayang Perang, Suriah Gelar Pilpres pada 26 Mei

Sel, 20 April 2021 | 08:00 WIB

Dalam Bayang-bayang Perang, Suriah Gelar Pilpres pada 26 Mei

Ketua Parlemen Suriah, Hammouda Sabbagh, mengatakan pada Ahad (18/4) bahwa Suriah akan menggelar pemilihan presiden (pilpres) pada 26 Mei mendatang.

Damaskus, NU Online
Ketua Parlemen Suriah, Hammouda Sabbagh, mengatakan pada Ahad (18/4) bahwa Suriah akan menggelar pemilihan presiden (pilpres) pada 26 Mei mendatang. Pilpres tersebut digelar di tengah bayang-bayang perang saudara yang masih bergejolak di Suriah hingga hari ini. Ini adalah pemilihan presiden kedua yang berlangsung selama perang saudara, setelah Pilpres 2014 lalu yang dimenangi Presiden Assad.


Diberitakan Aljazeera, pilpres itu tampaknya akan membuat Presiden Suriah saat ini, Bashar al-Assad tetap berkuasa. Namun, Presiden Assad dilaporkan belum secara resmi mengumumkan akan mencalonkan diri dalam pilpres bulan depan. 


Sabbagh menjelaskan, warga Suriah yang sedang berada di luar negeri bisa memberikan suaranya di Kedutaan Suriah—di negara di mana mereka tinggal- pada 20 Mei. Sayangnya, jutaan orang yang mengungsi akibat perang berkepanjangan di Suriah tidak memenuhi syarat untuk memberikan suara. 


Sabbagh mengatakan, para calon presiden bisa menyerahkan aplikasinya mulai Senin, 19 April kemarin. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi kandidat. Kandidat presiden Suriah harus tinggal di negeri itu selama setidaknya 10 tahun. Dengan demikian, para oposisi di pengasingan yang berjuang untuk mengakhiri 51 tahun pemerintahan keluarga Assad dilarang ikut pilpres. Selain itu, kandidat presiden juga harus mendapatkan dukungan setidaknya 35 anggota parlemen, yang didominasi oleh Partai Baath (partainya Assad).


Tahun lalu, Partai Baath memenangkan mayoritas yang diharapkan dalam pemilihan Parlemen Suriah. Kelompok oposisi mengecam hal itu dan menganggapnya sebagai teater belaka. 


Presiden Assad mengambil alih kekuasaan sebagai Presiden Suriah setelah ayahnya, Hafizh al-Assad, meninggal pada 2000 lalu. Dia memenangkan pemilu 2014, atau tiga tahun setelah penumpasan berdarah terhadap pengunjuk rasa anti-pemerintah dan di tengah konflik yang berkecamuk. Saat itu, dia mendapatkan hampir 90 persen suara. Sejak saat itu, Rusia telah membantu untuk merebut kembali beberapa wilayah yang sebelumnya dikuasai oposisi. Sekarang kelompok oposisi hanya menguasai sebagian kecil wilayah di barat laut Suriah.  


Berdasarkan Konstitusi Suriah 2012, seorang presiden hanya bisa menjabat dua periode (14 tahun karena waktu per periode adalah tujuh tahun), dengan pengecualian presiden yang dipilih dalam jajak pendapat 2014. 


Kini, Suriah tengah menghadapi situasi pangan dan listrik yang buruk. Banyak daerah yang dikendalikan pemerintah Suriah mengantre untuk mendapatkan bahan bakar dan roti. Banyak pelaku bisnis lokal tutup karena terjadi pemadaman listrik. Akibatnya, pengangguran meningkat dalam beberapa bulan terakhir. 


Perang Suriah yang telah berlangsung selama satu dekade telah menyebabkan sedikitnya 500 ribu orang meninggal dan jutaan lainnya terlantar.   


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad