Internasional

Catatan Ramadhan di Singapura

NU Online  ·  Jumat, 25 Juli 2014 | 18:56 WIB

Para pelancong Muslim dari Indonesia, setiap kali berkunjung ke Singapura, kerap kali menanyakan di mana masjid. Mereka biasanya jarang atau hampir tidak menemukan masjid di Singapura, kecuali masjid Sultan di daerah Arab Street yang tersohor itu.
<>
Biasa di Indonesia—khususnya Jakarta, hampir setiap pojok ada masjid. Jadi tak perlu repot di jika hendak melakukan shalat selama dalam perjalanan. Bahkan di Indonesia, di mall pun disediakan tempat salat. Di Singapura, kadang mereka mengeluhkan tentang di mana keberadaan masjid.

Tetapi sebenarnya di Singapura banyak sekali masjid. Hampir di setiap sudut wilayah ada masjid. Masjid-masjid yang ada di Singapura tak ubah dengan negaranya: bersih, tertib, dan jangan lupa masjid di Singapura tidak ada pencuri sandal dan barang berharga lainnya. Semuanya aman. Bahkan hampir setiap masjid menyediakan minuman air putih dingin atau panas secara gratis.

Pada Ramadhan  tahun ini, saya berusaha menjajaki banyak masjid di Singapura dengan cara ikut berbuka puasa bersama. Ini tahun kedua dari Ramadhan, saya berada di negeri yang disebut paling mahal di dunia. Tradisi berbuka ini sebenarnya pernah saya lakukan jauh sebelum ini. Ketika saya kuliah di kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat, banyak kesan, terlebih menghemat uang jajan saya ketika kuliah yang sangat terbatas.

Tradisi itu juga berlanjut selepas lulus. Saya sering berkunjung ke beberapa masjid dengan cara berbuka puasa bareng dan juga melakukan tarawih keliling atau tarling. Masjidnya yang terjangkau dari rumah saya di Depok kala itu. Banyak temuan, khususnya dalam jumlah rakaat shalat dalam tarawih. Ada yang 8 rakaat, ada juga yang 20 rakaat salat tarawihnya. Di Indonesia, sudah maklum dan sudah tidak menjadi rahasia umum lagi. Jika ada yang sembahyangnya 8 rakaat disebut Islam Muhammadiyah. Sementara yang 20 rakaat pasti Islam Nahdlatul Ulama (NU).

Dari penjelajahan itu, saya menemukan banyak yang menarik. Ada yang shalatnya 8 rakaat tapi menggunakan shlawat dan pemanggil untuk salat tarawih, mirip dengan cara shalat tarawih yang digunakan oleh NU. Tapi juga ada yang masih orisinal dari Muhammadiyah. Mereka melakukan shalatnya sepi tak ada shalawat dan dzikir sepatah kata pun yang diucapkan secara keras. Hanya untuk salat tarawih, tidak lebih. Shalat yang 20 rakaat tentunya sangat gaduh. Bahkan suara “amin” setelah surat Al-Fatihan dalam setiap shalat suaranya ada yang dikencangkan. Tapi itulah keragamaan di Indonesia.

Sejak tinggal di Singapura, sejak pertengahaan 2013, ketika jatuh bulan Ramadhan, saya kangen dengan suasana itu. Dari situ saya terdorong untuk menjajaki sejumlah masjid di Singapura. Inilah beberapa masjid di Singapura yang pernah saya datangi, khususnya untuk berbuka puasa bareng dan tarawih, juga untuk salat jumat: Masjid Asyakirin, Darussalam, Almukminin, Jamek Quenstown, Hasanah, Sultan, Annahdah, Alfalah, Haji Muhammad Salleh, dan tentunya masjid di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura. Sebab menu yang paling meriah untuk acara buka puasa bareng adanya di masjid di KBRI. Nama masjidnya Istiqomah. Ini tentunya belum termasuk banyak masjid lainnya yang belum saya datangi di seantero Singapura.

Saya simpulkan, dengan hanya mengambil beberapa sampling tersebut—jadi mirip hasil hitung cepat pemilihan presiden—hampir setiap masjid di Singapura menggelar acara berbuka puasa bareng secara gratis dan dengan menu buka kurang lebih sama: nasi briyani atau nasi kebuli dicampur kari ayam atau daging, bubur masjid, buah-buahan, kurma, dan minuman khas Singapura: Bandung. Sejenis air minun dari sirup rasa bunga rose merah kemudian dicampur dengan susu dan ditambah es. Warnanya jadi pink. Jika diminum di saat haus, apalagi untuk berbuka puasa: sedap sangat, kata orang Melayu di Singapura.

Setiap masjid di Singapura melayani ratusan orang untuk berbuka gratis. Kebanyakan dari mereka yang hadir adalah teman-teman muslim dari Bangladesh. Mereka umumnya para pekerja konstruksi. Jangan dikira dari ratusan itu mereka akan rusuh berebut makanan untuk buka. Mereka sangat tertib dan rapi. Tak ada gaduh sekalipun. Di Indonesia, suasana tertib seperti ini saya pernah temukan ketika berbuka puasa bareng di Masjid Istiqlal, sebuah masjid kebanggan bangsa Indonesia yang dibangun era Soekarno.

Di Istiqlal, buka puasa sangat tertib. Meski sayang, jika berbuka di Istiqlal masih ada rasa was-was tentang sandal dan barang-barang berharga lainnya. Jangan ditaruh sembarangan, meleng sedikit tuh barang sudah diambil maling. Saya pernah hilang sandal di Istiqlal ketika melakukan itikaf menjelang 10 hari puasa ke Idul Fitri. Memang ada temat penitipan sih. Jadi sebaiknya jika ke masjid-masjid di Indonesia, sandal anda yang bagus taruh di tempat penitipan.

Di Masjid Attin, masjid yang dibangun oleh presiden Soeharto malah lebih parah. Sudah buka puasa barengnya tidak tertib, keamanaan barang-barang kita tidak terjamin.  Saya dan keluarga pernah menyaksikan seorang ibu-ibu yang kehilangan handphonenya. Saya enggak tau apakah dia menyesal untuk datang kembali ke Attin untuk Itikaf atau tidak.

Di masjid Singapura, saya tidak pernah mengalami hal itu. Apalagi rasa was-was. Pokoknya aman. Buka puasa tertib, itikaf aman, dan ibadah pun jadi tenang.

Di Singapura, Tarawihnya 8 atau 20 rakaat?

Dari sekian masjid yang saya datangi, semua masjid melakukan tarawihnya 20 rakaat. Tetapi beberapa masjid mengumumkan bahwa shalat tarawih itu bisa dilakukan 8 rakaat atau 20 rakaat. Di Indonesia, ini dilakukan oleh masjid Istiqlal. Salatnya dibagi dua. Shalat yang 8 rakaat dan juga 20 rakaat. Di Singapura hanya di masjid KBRI salat tarawihnya 8 rakaat. Tapi 8 rakaatnya sepertinya bukan pertimbangan mengikuti Muhammadiyah atau tidak ikut NU loh.

Meski masjid-masjid melakukan 20 rakaat untuk shalat tarawihnya secara resmi, tetapi yang memilih 8 rakaat juga banyak. Biasanya selepas 8 rakaat selesai, mereka mundur dari barisan dan melanjutkan salat witir setelah itu pulang. Umumnya, mereka yang pulang adalah anak-anak muda dan orang-orang yang sudah sangat sepuh. Pertanyaanya apakah bisa kita sebutkan mereka yang melakukan salat 8 rakaat adalah Islamnya Muhammadiyah di Singapura? Dan yang bertahan salat tarawih 20 rakaat bisa disebutkan Islam NU?

Setiap shalat tarawih di masjid Singapura selalu dipenuhi jamaah. Terlihat seperti pelaksanaan shalat Jumat. Tetapi begitu lewat 8 rakaat, setengah jamaahnya bubar. Mereka mengikuti salat tarawih yang 8 rakaat. Saya termasuk orang yang mengikuti shalat tarawihnya 8 rakaat dilanjut witir 3 rakaat. Alasan saya sederhana. Lebih kepada alasan geografis. Kalau saya mengikuti salat 20 rakaat, saya akan sampai ke rumahnya larut malam. Karena jarak antara rumah dan masjid lumayan jauh. Alasan 8 rakaat di masjid KBRI Singapura, sepertinya diambil juga karena alasan geografis. Di sekitar masjid KBRI Singapura, tidak ada pemukiman penduduk. Mereka yang shalat ke sana rata-rata rumahnya jauh. Mungkin itu yang menjadi alasannya.

Nah bisa jadi mereka yang menyelesaikan tarawihnya pada rakaat ke-8 dan masih bertahan di 20 rakaat, bukan pada perdebatannya mereka Muhammadiyah atau NU. Tetapi pada pilihan strategis dari jarak rumah mereka. (Robi Sugara/Abdullah Alawi)



Robi Sugara, warga NU, sekarang sedang menempuh program Master dari Strategic Studies di Rajaratman School of International Studies (RSIS) Singapura