Internasional

Buntut Pembunuhan Guru: Dua Muslimah Ditikam, Muslim Prancis Takut Islamofobia Naik

Jum, 23 Oktober 2020 | 08:00 WIB

Buntut Pembunuhan Guru: Dua Muslimah Ditikam, Muslim Prancis Takut Islamofobia Naik

Dua Muslimah di Prancis mengalami luka-luka setelah ditikam ketika keduanya sedang berjalan-jalan di Taman Menara Eiffel, Paris, Prancis. Kejadian itu dilaporkan terjadi pada Ahad, (18/10) malam waktu setempat, atau dua hari setelah seorang guru Prancis dipenggal oleh seorang remaja berdarah Chechnya pada Jumat, (16/10). (Foto: EPA/Ian Langsdon) 

Paris, NU Online
Dua Muslimah di Prancis mengalami luka-luka setelah ditikam ketika keduanya sedang berjalan-jalan di Taman Menara Eiffel, Paris, Prancis. Kejadian itu dilaporkan terjadi pada Ahad, (18/10) malam waktu setempat, atau dua hari setelah seorang guru Prancis dipenggal oleh seorang remaja berdarah Chechnya pada Jumat, (16/10).  


Diketahui, kedua korban tersebut bernama Amel dan Kanza dan berasal dari Aljazair. Jadi ketika mereka berjalan-jalan di bawah Menara Eiffel bersama dengan kerabatnya—total rombongan mereka adalah empat orang dewasa dan empat anak-anak, ada dua orang perempuan Prancis yang sedang membawa anjing jenis pitbull mendekatinya. Mereka ketakutan dengan anjing itu dan meminta pemilik anjing itu untuk mengikatnya atau meminggirkannya.


"Saat kami berjalan, ada dua ekor anjing yang mengikuti kami. Anak-anak pun ketakutan," kata Kenza.


Akan tetapi, pemiliki anjing tersebut yang diduga sedang mabuk itu malah marah dengan permintaan Amel, Kanza, dan rombongannya. Tidak lama setelah itu, dua perempuan Prancis itu kemudian menikam Amel dan Kanza berkali-kali. Dilaporkan, Kanza mendapatkan enam luka tusuk dan menderita luka di paru-parunya. Sementara Amel mengalami luka tusuk di tangannya. Mereka sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit. Seperti diberitakan New York Post, Kamis (22/10), kejadian itu terekam kamera handphone dan kemudian menyebar ke pengguna handphone lainnya di Prancis.


Ironisnya, kedua pelaku tersebut melontarkan kata-kata kotor dan bernada rasial. Dilansir The Sun, Rabu (21/10), saksi mata mengungkapkan bahwa mereka mendengar kedua pelaku mengatakan ‘pulang lah ke negaramu’ dan ‘Arab kotor’ ketika menikam Kanza dan Amel. 


Atas kejadian itu, polisi setempat kemudian menahan dua perempuan Prancis tersebut dengan tuduhan percobaan pembunuhan. Sebelumnya, seorang guru di Prancis bernama Samuel Paty dipenggal oleh Abdullakh Anzorov—seorang remaja yang berdarah Chechnya- karena Paty menunjukkan kartun kontroversial Nabi Muhammad di kelasnya. Hal itu membuat marah seorang wali murid dan kemudian dia menggalang kampanye online untuk melawan guru tersebut. Semenjak itu, Paty telah menjadi sasaran ancaman daring.


Beberapa hari setelah kejadian pembunuhan ini, pemerintah Prancis melancarkan tindakan keras terhadap organisasi Muslim di sana. Sementara kelompok main hakim sendiri telah merusak masjid. Serangkaian kejadian itu memicu ketegangan antara pemerintah Prancis dan Muslim di sana semakin dalam. Muslim Prancis khawatir itu akan meningkatkan islamofobia di sana. 


Diberitakan Aljazeera, Kamis (22/10), Muslim Prancis khawatir kematian Paty digunakan sebagai senjata untuk memajukan kebijakan pemerintah yaitu mencampurkan Islam dengan terorisme. 


“Muslim menjadi sasaran,” kata seorang aktivis Muslim Prancis, Yasser Louati. Dia yakin, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, memanfaatkan isu islamofobia dalam kampanyenya. 

 

Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin mengusulkan untuk melarang sebuah asosiasi yang melacak kejahatan rasial anti-Muslim, Collective Against Islamophobia in France (CCIF). Dalam sebuah wawancara di Radioa Europe 1, Darmanin mengatakan bahwa CCIF adalah musuh Republik Prancis dan menjadi salah satu dari beberapa organisasi yang akan dibubarkan atas permintaan pribadi Presiden Prancis, Macron. 


CCIF mengecam bahasa yang dilontarkan Darmanin tersebut dan menyebutnya sebagai fitnah. CCIF menambahkan, pemerintah Prancis ‘mengkriminalisasi perang melawan islamofobia’. 


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad