Internasional

Belajar dari NU Australia-Selandia Baru

NU Online  ·  Jumat, 5 September 2014 | 10:02 WIB

Pelan tapi pasti, kebanggan saya sebagai nahdliyin megembang kembali saat mengikuti Konfercab PCI NU Australia-Selandia Baru, 29-30 Agustus 2014. Perwakilan dari 5 negara bagian ikut hadir: Victoria (Melbourne), New South Wales (Sydney & Wollongong), South Australia (Adelaide), Western Australia (Perth), dan Australian Capital Territory (Canberra).
<>
Sementara dari Selandia Baru dan Northern Territory (Darwin) berhalangan hadir dan di negara bagian Tasmania belum ada kepengurusan NU. Mereka rata-rata adalah calon master dan doktor dari berbagai kampus se-Australia. Sebagain lagi sudah menjadi warga tetap atau permanen residen.

Konfercab ini istimewa. Pesertanya datang dengan biaya sendiri, menyediakan waktu di sela-sela kesibukan studi dan bekerja. Tak ada janji dari calon ketua yang akan mengganti biaya tiket, misalnya. Begitu pula panitia lokal di Melbourne berjibaku selama sekitar dua minggu untuk menjadi tuan rumah yang baik. Untuk apakah gerangan mereka melakukan ini semua? Saya menemukan satu jawaban yang mungkin tidak canggih: tabarrukan. Ngalap berkah dari para pendiri NU yang sudah visioner menghendaki NU sebagai lembaga yang mengglobal, sebagaimana diperlihatkan oleh lambangnya. Kalau Wahabi yang lahir di Saudi bisa mendunia, Ahmadiyah dari Pakistan bisa mendunia, kini ISIS dari Iraq juga mengguncang dunia, mengapakah NU yang sejak awal berlambang bola dunia tak bisa meraih capaian yang sama? Apa yang kurang dari NU sehingga masih gagap untuk menjadi bagian integral dari warga dunia?

Tiga dari Habib Aji
Ismail Fajrie Alatas memberikan jawaban yang jernih dan jenial. Dalam teleconference (29/8/’14) sebagai prolog Konfercab, Habib Aji, demikian ia biasa disapa, menyampaikan tiga hal yang luput diperhatikan selama ini. Tiga hal yang tidak perlu dicari-cari karena sebenarnya melekat di dalam diri aktivis NU. Pertama, menjaga otoritas keilmuan sebagai ciri mandiri NU. Menjaga sanad keilmuan dan menyebarkannya kepada yang memerlukan. Otoritas keilmuan itu harus dijaga karena hanya dengan itulah nama NU masih layak dipergunakan. Menjadi berbahaya jika otoritas ini semakin tergerus dan setiap orang bisa mengklaim sebagai ulama. Bukankah dunia intelektual Barat itu kita hargai, hingga dikejar untuk kepentingan studi, karena mereka berhasil menjaga otoritas keilmuannya?

Implementasi dari sikap ini ialah menerapkan cara pengajaran ulama-ulama NU terdahulu, yaitu memberikan pengajian dengan membacakan kitab-kitab khas pesantren, misalnya kitab-kitab seperti Safinatun Naja, Sullamut Taufiq, Aqidatul Awam. Bukan hanya ceramah lepas yang baik pendakwah maupun pendengarnya susah mengingat-ingat kembali materinya. Kitab-kitab itu dibacakan kepada jamaah di lingkungan PCI NU dengan tidak lupa menjelaskan sanadnya. Dengan demikian, jamaah yang ikut mengaji akan merasa bangga karena mendapatkan ilmu yang sanadnya tersambung kepada ulama-ulama besar, para muallif penyebar berkah keilmuan itu.

Kedua, mulai bergabung dengan aliansi Aswaja internasional, misalnya dengan Tabah Foundation yang digerakkan oleh Habib Ali Aljufri (http://www.tabahfoundation.org/en) yang berpusat di Abu Dhabi. Lembaga ini menjadi thing tank  kelas global yang memberikan sumbangsih pemikiran dari perspektif Aswaja, untuk kehidupan yang lebih baik di tingkat dunia. Menurut Habib Aji, intelektual dan cendekiawan NU yang alumni dari mancanegara, sangat ditunggu kiprahnya untuk ikut membesarkan lembaga tersebut. Untuk tingkat Australia, ia menyarankan agar mulai dibangun kegiatan bersama dengan pendatang Malaysia, Brunai, Pattani, yang memiliki tradisi yang sama dengan NU.

Ketiga, pandai-pandai menyikapi perkembangan sosial-media untuk memperluas dakwah dan tidak terjebak dalam budaya baru yang dilahirkan oleh setiap perangkat sosial-media itu. Inilah tantangan yang sulit tapi bukan berati tidak mungkin untuk dilakukan.

Paparan kandidat doktor di Michingan University itu menyadarkan aktivis NU di luar negeri untuk kembali pada dirinya sendiri, pada khazanah pesantren. NU dengan basis pesantren, menurutnya, mempunyai semua modal untuk menjadi bagian dari kegiatan dakwah di tingkat global. Tentu terpulang pada aktivis NU sendiri, apakah peluang yang sebenarnya terbuka itu mau diambil atau disia-siakan. Apakah cukup sebagai jago kandang yang beraninya hanya dengan “pihak tertentu”, atau mulai siap berekspansi menjajal tantangan dan peluang dari warga lokal dan pendatang dari manca negara.

Konfercab Paling Sukses
Saat Konfercab berlangsung, saya lebih banyak diam. Tugas resmi saya adalah bidang media dan publikasi, jadi memang harus lebih banyak menyimak dan mencatat dari pada bicara. Saya menyimak beragam pendapat kawan-kawan dari berbagai latar belakang. Kagum karena tidak semua bergenetika NU, tapi mau bergabung sebagai nahdliyyin.

Ada dua orang utusan yang berhasil membetot perhatian saya: Muhammad Khodafi dari Canberra dan Kiai Muhammad Mubarok Omo dari Perth, yang populer dengan sebutan Ustadz Mumu. Saya kagum dengan idealisme Khodafi saat mengelola majalah Santri yang diterbitkan oleh PP RMI. Rasanya, idealisme saya selama ini tak ada apa-apanya dibandingkan Khodafi. Saya bisa tetap idealis karena jauh dari “godaan“, sementara dia tetap teguh tak tergoyahkan di tengah godaan-rayuan di depan matanya. Saya membayangkan dari tangannya kelak masih akan lahir media NU atau pesantren yang berwibawa dan sukses secara keredaksian dan komersial.

Sementara Ajengan Mumu mengagumkan karena pengalaman panjangnya berdakwah di luar negeri, mulai dari Malaysia hingga Australia. Ia mau "turun gunung“ untuk menghadiri Konfercab dan bersedia menjadi Mustasyar dalam kepengurusan PCI NU 2014-2016. Tanpa ragu ia menyatakan sebagai nahdliyyin dan mengakui berasal dari keluarga nahdliyyin. Ternyata ia asli dari Sukahurip, Galunggung, Tasikmalaya. Tak jauh dari Kikisik. Masih ingat letusan gunung Galunggung 1982 dan misteri sebuah kampung yang lolos dari terjangan lahar? Ajengan Kikisik yang fenomenal itu ternyata masih terhitung kakeknya. Tak heran jika ia menyampaikan bahwa ajakan dzikir bisa menyatukan umat. "Ajakan berdzikir itu bisa meredam konflik internal di antara umat Islam,“ ujarnya. Ia bukan sedang berteori, tapi memaparkan pengalamannya selama ini. Pengalaman ajengan yang tak kehilangan lentong Sunda-nya itu layak dipraktikkan dalam berdakwah di semua negara bagian di Australia.

Diam-diam saya coba mencari-cari suasana khas NU jika mengadakan acara. Suasana ger-geran ala pesantren memang mulai mencairkan suasana. Tapi kekhasan itu saya temukan saat Ustadz Mumu memipin doa penutup acara pembukaan di KJRI. Ia hanya membacakan surat Al-Fatihah, tapi suaranya itu, mengingatkan saya ke dalam suasana riungan NU di tanah air. Ia memang seorang qari yang bersuara berat nan mantap. Suasana NU itu semakin kental saat ia memimpin tahlilan di penghujung seluruh rangkaian Konfercab. Lantunan ayat suci dengan suara merdunya di tengah-tengah tahlilan, benar-benar me-refresh semua rasa lelah, lahir dan batin.

“Inilah Konfercab paling sukses selama ini,” ujar Gus Nadir mengapresiasi seluruh panitia dan peserta. Posisi intelektual dengan dua gelar doktor ini memang sentral bagi PCI NU. Sosoknya dapat menjadi pemacu sekaligus penyeimbang laju roda organisasi. Tanpa segan ia menuangkan minuman bagi para peserta, atau mencarikan kursi bagi yang tidak kebagian tempat duduk. Tak mengherankan jika pakar demografi dari Macquarie University, Dr. Salut Muhidin, mengamini ajakannya untuk bergabung membesarkan PCI NU.

Fase Ketiga
Terpilihnya Tufel Musyadad, alumni IAIN Walisongo Semarang, menandai fase ketiga perkembangan PCI NU. Ia mendampingi Gus Nadir selaku Rais Syuriyah dan Ustad Mumu sebagai salah satu Mustasyar. Fase pertama ialah kelahiran dan peresmian keberadaan PCI NU Australia-Selandia Baru di Canberra pada 2005. Banyak organisasi massa cabang luar negeri yang berhenti pada fase ini. Fase kedua ialah penyesuaian susunan kepengurusan sesuai kebutuhan, pencarian bentuk program, dan  penyesuaian gerak organisasi dengan lingkungan sekitar. Konflik dengan “pihak tertentu” merupakan bumbu dominan dalam fase ini. Tak sedikit ormas Islam yang terpaksa tiarap akibat deraan konflik internal ini. Lalu fase ketiga adalah fase konsolidasi, dimana tiga serangkai permanen residen menjadi figur sentral PCI NU. Sebelumnya, Ketua Tanfidziyah selalu dijabat oleh pelajar yang hanya memegang visa sementara.

Tantangan Tufel ialah mengawal PCI NU memasuki fase keempat, yaitu penguatan fondasi, yang ditandai dengan tampilnya seorang warga Australia, kelak di kemudian hari, sebagai pimpinan. Tidak harus bule, bisa saja ia adalah seorang Muslim Aborigin atau generasi kedua pedatang Indonesia yang sudah menjadi citizen. Namun, itu bukan hanya tugas alumni Stony Brook University, New York itu sendirian, melainkan tugas bersama-sama semua pengurus dan anggota PCI NU. Dengan tampilnya warga Australia sebagai pimpinan NU, maka dalil “NU yashluh li kulli zaman wa makan” menjadi sah adanya. Dan itulah bukti NU yang mendunia, yakni bergabungnya warga dunia ke dalam NU.

Dari Konfercab kali ini saya bisa mendapatkan gambaran yang nyaris utuh mengenai harapan perkembangan PCI NU ke depan. Potensi (kekuatan), tantangan, peluang, dan hambatan yang akan dihadapi terpapar melalui persidangan dan diskusi-diskusi kecil di luar acara resmi. Misalnya kegiatan non pengajian yang selama ini ditunggu-tunggu, dapat terwadahi dalam gagasan Gus Dur Memorial Lecture yang dilontarkan peneliti muda LIPI Muhammad Khoirul Muqtafa. Apalagi nama Gus Dur adalah jaminan mutu bagi dunia intelektual Australia.

PCI NU di seluruh dunia sesungguhnya merupakan aset besar NU. Menarik untuk melihat “pertarungan” di arena Muktamar NU XXXIII 2015 nanti. Apakah PCI NU akan mendapatkan perhatian besar dari induknya kembali atau lagi-lagi kurang dianggap  penting. Dengan dukungan penuh dari PBNU, PCI NU memang akan leluasa bergerak secara terstruktur, sistematis, dan masif. Namun, dengan dukungan seadanya pun, ruang gerak PCI NU tidak harus terhambat. Justru hal itu bisa mendorongnya untuk menjadi otonom dan menumbuhkan dirinya sendiri hingga mencapai tahap kematangan, baik secara organisasi maupun program. Insyaallah.

Rasanya, dengan figur karismatik Nadirsyah Hosen, nyala api harapan dari PCI NU Australia-Selandia Baru akan awet dan tahan dari tiupan angin, bahkan dapat menyinari rumah induknya.  
Kini, tepat waktunya untuk berkirim hadiah fatihah kepada semua pendiri NU, khususnya Mbah Ridwan Abdullah, sang pencipta lambang NU yang futuristik itu. Alfatihah …

Iip Dzulkipli Yahya, penulis partikelir, saat ini tinggal di Clayton, Victoria, Australia.