Hikmah

Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah, Sufi Perempuan Guru Para Wali

Sel, 11 Februari 2020 | 13:00 WIB

Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah, Sufi Perempuan Guru Para Wali

Menjadi orang terpelajar (ulama atau wali) bukan hanya hak laki-laki, tapi juga perempuan.

Nama lengkapnya Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah hidup sekitar abad ke-4 Hijriah. Ia adalah ulama perempuan yang sangat diakui kealiman dan kesalehannya. Ia berguru pada banyak wali besar, salah satunya adalah Syekh Abu Abdullah bin Khafif. Imam Abdurrahman al-Sulami memperkenalkannya dengan kalimat:

 

كانت واحدة وقتها لسانا وعلما وحالا. صحبت أكثر مشايخ الوقت. ورحلت في آخر عمرها إلي الشيخ أبي عبد الله بن خفيف ودخلت نيسابور ولقيت بها أبا عمرو بن نجيد والنصراباذي

 

Terjemah bebas: “Ia adalah wanita yang unik di zamannya dalam lisan, ilmu dan keadaan spiritualnya. Ia menemani (atau belajar) kepada banyak guru di era (tersebut). Di akhir hidupnya, ia melakukan perjalanan menuju Syekh Abu Abdillah bin Khafif (untuk berguru kepadanya). Ia memasuki (daerah) Naisabur dan di sana ia berjuma dengan Abu ‘Amr bin Najid dan al-Nasrabadzi” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 418-419).

 

 

Dalam keterangan Imam Abdurrahman al-Sulami di atas, dikatakan bahwa di akhir hayatnya, ia masih melakukan perjalanan jauh ke Shiraz untuk bertemu dan berguru kepada Syekh Abu Abdillah bin Khafif (w. 371 H), seorang ulama besar yang menguasai ragam ilmu pengetahuan (dzûl funûn). Ini menunjukkan, ia adalah perempuan yang haus akan ilmu, tak peduli jarak dan usia. Tidak puas sampai di situ, ia melanjutkan perjalannya ke Naisabur, padahal jarak dari Shiraz ke Naisabur cukup jauh. Di sana, ia berjumpa dengan Imam Abu ‘Amr bin Najid al-Sulami (w. 366 H) dan Imam Abu al-Qasim Ibrahim bin Muhammad al-Nasrabadzi.

 

Selain banyak berguru kepada ulama dan wali besar, Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah memiliki banyak murid, khususnya dari kalangan laki-laki, sebut saja Syekh Abu Sahl Muhammad bin Sulaiman, Syekh Abu al-Qasim al-Razi, Syekh Muhammad al-Farra’, Syekh Abdullah al-Mu’allim, dan lain sebagainya. Imam Abdurrahman al-Sulami menulis:

 

وكان الشيخ الإمام أبو سهل محمد بن سليمان، رحمه الله، يحضرها ويسمع كلامها، وكذلك جماعة مشائخ الفقراء مثل أبي القاسم الرازي ومحمد الفرّاء وعبد الله المعلّم ومن في طبقتهم

 

Terjemah bebas: “Syeikh al-Imam Abu Sahl Muhammad bin Sulaiman, rahimahullah, menghadiri (kajian)nya dan mendengarkan uraiannya. Begitu pula dengan sekelompok syekh-syekh sufi (al-fuqara’) seperti Abu al-Qasim al-Razi, Muhammad al-Farra, Abdullah al-Mu’allim, dan syekh-syekh sufi (lainnya) dari generasi mereka” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 419).

 

Sebagai seorang murid sekaligus guru, ia mengajarkan banyak nilai-nilai spiritualitas Islam kepada banyak orang. Beberapa ajarannya adalah:

 

احذروا ألا يكون شغلكم طلب راحات النفوس وتوهمون أنكم في طلب العلم، وطالب العلم هو العامل به وليس العمل بالعلم كثرة الصوم والصدقة والصلاة، وإنما العمل بالعلم إخلاص العمل لله، بصحّة النية ومراقبة نظر الله تعالي إليه، إن لم يكن هو ناظرًا إلي ربه ومشاهدًا له

 

Terjemah bebas: “Waspadalah agar kalian tidak disibukkan (dengan) mencari kedamaian jiwa dan berasumsi bahwa kalian (sedang) menuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu adalah orang yang beramal dengan ilmunya. Beramal dengan ilmu bukanlah memperbanyak puasa, shadaqah, dan shalat. (Yang disebut) beramal dengan ilmu adalah ikhlas beramal karena Allah dengan benarnya niat dan menjaga kesadarannya bahwa Allah (selalu) mengawasinya, meskipun ia bukan orang yang (selalu merasa) melihat dan menyaksikan Tuhannya (setiap waktu)” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 419).

 

Karena pada hakikatnya, seseorang yang ikhlas beramal karena Allah dan untuk Allah, ia pasti mengamalkan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Perbedaannya adalah, shalat mereka tidak karena pencitraan atau terjebak pada lingkaran aktivitas yang telah menjadi kebiasaan, tapi karena benar-benar tulus untuk, dan karena Allah.

 

Dalam cara pandang Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah, manusia tidak seharusnya terlalu lama terjebak dalam pengetahuannya, karena bisa membuatnya lalai akan tujuan pengetahuan itu sendiri, yaitu diamalkan. Amal di sini, tidak melulu jumlah atau kuantitas seperti yang dikatakan al-Wahatiyyah. Karena sebanyak apapun amal yang dilakukan, tanpa niat yang benar dan kesadaran bahwa Allah selalu mengawasinya, amal itu menjadi kurang nilainya.

 

Tentu yang sedang dibicarakan di sini bukan soal sah atau tidaknya amal tersebut. Tapi, pengaruh amal dalam kejiwaan dan perilaku hidup pelakunya. Karena itu, Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah memperingatkan para pencari kebenaran dan penuntun ilmu untuk berhati-hati agar tidak terjebak dalam kesibukan pengetahuan yang tidak ada keikhlasan di dalamnya.

 

Di waktu lain, ia menyampaikan pelajarannya dengan berujar:

 

حقيقة المحبة أن يخرس المحب إلا عن محبوبه، ويصم إلا عن سماع كلامه، كما قال النبي صلي الله عليه وسلم: حبك الشيء يعمي ويصم

 

Terjemah bebas: “Hakikat cinta adalah sang pencinta (menjadi) bisu selain dari yang dicintainya, dan (menjadi) tuli selain dari mendengar ucapan kekasihnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Cintamu kepada sesuatu (dapat membuatmu) buta dan tuli” (Imam Abdurrahman al-Sulami, Thabaqât al-Shûfiyyah wa yalîhi Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidât al-Shûfiyyât, 2003, h. 419).

 

Ini menarik, sebab Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah menggunakan hadits Nabi sebagai landasan argumentasi spiritualnya tentang cinta. Nabi mengatakan, “cintamu kepada sesuatu (dapat membuatmu) buta dan tuli.” Artinya, jika cinta terhadap hal-hal bendawi saja bisa membutakan dan menulikan manusia, membuat mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, bagaimana mungkin cinta kepada Tuhan tidak sampai membuat sang pencinta mengalami keadaan yang sama dengan cinta kepada hal-hal bendawi.

 

Tentu ada perbedaan yang sangat besar dalam dua cinta ini, baik proses maupun hasilnya. Mencintai hal-hal bendawi berasal dari dorongan nafsu, sedangkan mencintai Tuhan harus melalui serangkaian hal, dari mulai mempelajari hukum-hukum-Nya, mengamalkan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, menjaga kesadaran akan pengawasan-Nya, merasakan kehadiran nikmat-nikmat-Nya, sampai menerima ketetapan-Nya.

 

 

Untuk mempermudah memahaminya, kita akan gunakan contoh sederhana ini. Ketika Tuhan melarang untuk meminum khamr (minuman keras dan berarkohol). Bagi orang yang telah mencintai Tuhan dengan hakikat cinta (cinta sesungguhnya), ia akan berupaya untuk menjaganya, terlepas dari banyaknya pengaruh, godaan, bujukan dan rayuan orang lain kepadanya, ia tidak akan peduli. Ia menjadi tuli dan buta terhadap pengaruh orang lain. Selama itu larangan yang berasal dari kekasih-Nya, ia akan melakukannya.

 

Dalam uraian di atas, Ummu al-Fadl al-Wahatiyyah seakan sedang mengajari kita bahwa menuntut ilmu tidak dibatasi oleh jenis kelamin dan usia. Menjadi orang terpelajar (ulama atau wali) bukan hanya hak laki-laki, tapi juga perempuan. Dan ia telah melakukannya sendiri. Meski ia seorang wanita, itu tidak menghalanginya untuk terus menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Banyak dari muridnya yang kemudian menjadi ulama besar dan wali, bahkan banyak dari mereka yang sudah ulama tapi masih belajar kepadanya. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.

 

Wallahu a’lam bish shawwab....

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen