Hikmah

Imam Al-Ghazali: Kisah Raja dan Si Pakaian Kusut tentang Bekal Kehidupan Akhirat

Jum, 23 Juli 2021 | 14:30 WIB

Imam Al-Ghazali: Kisah Raja dan Si Pakaian Kusut tentang Bekal Kehidupan Akhirat

Kisah Raja dan Si Pakaian Kusut tentang Bekal Kehidupan Akhirat

Harta merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia pasti membutuhkannya. Dari sini, tidak sedikit manusia berambisi mencari dan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Namun, harta bukan hanya untuk pemenuhan nafsu belaka. Ia memiliki hak yang harus kita penuhi. Dalam kitab al-Masbûk fî Nasîhatil Mulûk, Imam al-Ghazali menyampaikan kisah harta dan pemiliknya yang layak dijadikan pelajaran.

 

Kisah Raja dan Si Pakaian Kusut
Dikisahkan, seorang Raja memiliki banyak harta. Ia mengumpulkan berbagai macam harta yang ada di dunia untuk menyenangkan diri dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dibuatlah istana mewah dan megah layaknya tempat tinggal raja. Dipasangkan pintu-pintu gerbang kokoh yang dijaga oleh banyak penjaga.

 

Suatu ketika, Sang Raja memerintahkan pegawainya untuk membuat pesta makan di istana bersama para menterinya, teman-temannya, dan juga pelayannya. Duduklah ia di atas singgasana dengan lagak sombong sambil berkata: 

 

“Wahai jiwa(nafsu)ku, sungguh Aku telah mengumpulkan semua kenikmatan dunia ini. Sekarang nikmatilah! Harta ini akan dapat memenuhi kebutuhan di dunia ini sepanjang umur.”

 

Saat pesta tengah berlangsung, di luar istana tampak laki-laki berpakaian kusut, compang-camping, dan di lehernya terkalungkan keranjang rumput. Penampilannya seperti pengemis yang meminta-minta makanan. Ia hendak memasuki gerbang istana dengan wajah menakutkan, sehingga membuat gaduh orang-orang yang sedang berpesta.

 

Para penjaga pintu istana gentar dan ketakutan dengan kedatangan Si Pakaian Kusut. Mereka pun melompat ke arah pintu sambil berkata kepadanya: 


“Hai orang lemah, bentuk kerakusan dan ketidaksopanan apa ini? Bersabarlah hingga kami dapat memberimu sisa makanan kami”. 

 
“Sampaikanlah kepada Rajamu agar ia segera keluar, karena ada hal penting yang ingin Aku sampaikan”, kata Si Pakaian Kusut.

 

“Menyingkirlah wahai laki-laki lemah! Kamu itu siapa sehingga menyuruh Raja keluar untuk menemuimu?” jawab Si Penjaga dengan nada meremehkan.

 

“Apakah kalian sudah menyampaikan maksudku kepada Rajamu, bahwa Aku ingin bertemu dengannya?”, sergah Si Pakaian Kusut.
 
 

Berangkatlah Si Penjaga menghadap Sang Raja dan menyampaikan maksud kedatangan Si Pakaian Kusut yang ingin bertemu dengannya. Mendengarnya, Sang Raja marah besar dan mencerca Si Penjaga, bahkan Sang Raja mengancamnya akan dijatuhi sanksi.

 

Menanti Sang Raja tak kunjung keluar, Si Pakaian Kusut kemudian menerobos pintu gerbang istana. Melihat itu, bangkitlah para penjaga pintu dari tempatnya dan mengejar laki-laki itu dengan tongkat dan sebilah pedang di tangan.


“Tetaplah kalian di tempat semula. Aku adalah Malaikat Maut”, Si Pakaian Kusut berteriak.

 

Mendengar hardikan ini, hati orang seisi istana bergetar hingga membuat mereka terpaku tidak mampu bergerak. Mereka panik kehilangan akal.

 

“Ambillah harta-hartaku ini semaumu sebagai gantiku,”  mohon Sang Raja memecah kegentingan.

 

“Aku hanya ingin mengambil nyawamu, kedatanganku ke sini tiada lain adalah untuk memisahkanmu dengan kenikmatan dunia yang kau bangga-banggakan ini”, jawab Si Pakaian Kusut yang ternyata adalah Malaikat Maut.

 

Sang Raja justru akhirnya melaknat harta bendanya yang dianggapnya telah menipu, mendatangkan bahaya, dan menghalanginya beribadah kepada Tuhannya. Ia menyangka bahwa hartanya dapat memberikan manfaat dalam kehidupannya. Ia baru sadar, bahwa hartanya adalah sumber kerugian dan bencana baginya. Sekarang, ia tidak mempunyai bekal apa-apa untuk menghadapi Malaikat Maut yang hendak mencabut nyawanya.

 

Atas kuasa Allah, harta Sang Raja diberikan kemampuan berbicara: 


“Mengapa kamu sekarang melaknatku? Laknatlah dirimu sendiri!

Allah menciptakanku agar dijadikan bekal oleh manusia untuk kehidupannya di akhirat; digunakan bersedekah kepada fakir miskin, memakmurkan rumah-rumah ilmu, masjid-masjid, dan kemaslahatan rakyat kecil agar aku dapat membantu pemilikku di akhirat nanti; sedangkan Engkau mengumpulkanku sebagai bentuk kebanggaan dan keserakahanmu hanya untuk memenuhi hawa nafsumu.

Sekarang Engkau berada dalam kerugian dan kesengsaraan. Lalu, dosa apa yang Aku perbuat hingga Engkau melaknatku?”

 

Tak lama setelah itu, Malaikat Maut mencabut ruh Sang Raja sebelum sempat menikmati hidangan pesta yang telah dipersiapkan.

 

Hikmah
Dari kisah ini, ada beberapa hikmah yang perlu dijadikan pelajaran.

 

Pertama, hendaknya manusia tidak mencari harta hanya untuk memuaskan hawa nafsu. Harta sebaiknya dijadikan sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di kehidupan akhirat.

 

Kedua, hendaknya manusia tidak melaknat hartanya, sebab sumber kesalahan bukan terletak pada dzâtiyah hartanya, namun karena penggunaannya. Semua tergantung kepada pemiliknya mau digunakan untuk apa harta yang dimilikinya.

 

Ketiga, harta memiliki hak, yaitu sebagai sarana ber-taqarrub (ibadah) kepada Allah swt dengan cara bersedekah kepada fakir miskin, membantu orang yang membutuhkan, memakmurkan masjid, dan kebaikan lainnya, sehingga menjadi bekal menjalani kehidupan di akhirat nanti. Tidak sebaliknya, harta justru menjadi penyebab manusia masuk ke api neraka. Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

 

Bukankankah Allah swt telah mengingatkan manusia melalui firman-Nya: 

 

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ (1) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ (2) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ (3) كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ (4) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ (5) نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ (6) الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ (7) إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ (8) فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ (9) (الهمزة: 1-9)

 

Artinya, “1. Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela; 2. yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya; 3. dia (manusia) mengira bahwa hartanya dapat mengekalkannya; 4. Sekali-kali tidak, pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah; 5. dan tahukah Kamu apakah (neraka) Huthamah itu? 6. (yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan; 7. yang (membakar) sampai ke dalam hati; 8. sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka; 9. (sedangkan mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (QS al-Humazah: 1-9). Wallâhu a’lam.


Hamim Maftuh Elmy, Mahasantri Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo.