Fragmen

Sektor Ekonomi Strategis yang Berhasil Ditumbuhkan Gus Dur

Kam, 17 September 2020 | 06:15 WIB

Sektor Ekonomi Strategis yang Berhasil Ditumbuhkan Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Kondisi ekonomi politik pada era Orde Baru hingga saat BJ Habibie menggantikan Soeharto membuat kas negara dalam keadaan tidak hanya kosong, tetapi juga minus. Puncaknya terjadi krisis pada 1997 dan 1998. Krisis ekonomi dan politik tersebut terjadi karena sektor perekonomian terlalu tergantung kapitalisme global dan mafia-mafia di dalam negeri.


Pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya sangat pesat juga anjlok dan minus hingga mencapai 12,8 persen. Itulah yang diwarisi Gus Dur saat menerima amanah rakyat untuk menjadi Presiden ke-4 RI pada 1999. Gus Dur dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 1999.


Rezim Orde Baru terlalu menggantungkan ekonomi kepada 'mafia-mafia Berkeley' yang dianggap tidak mempunyai integritas moral dan bermental antek sehingga mengakibatkan krisis. Bahkan membebani utang pada generasi mendatang.


Gus Dur terlebih dahulu melakukan pembangunan keamanan politik dengan merangkul semua kekuatan politik yang ada. Selain membutuhkan tenaga profesional yang andal, juga diperlukan orang-orang yang berani menghadapi berbagai hambatan nasional (mafia) dan hambatan internasional (IMF dan World Bank).


Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menyebut bahwa tidak ada yang bisa mengulangi sukses percepatan pertumbuhan ekonomi pada zaman Gus Dur. Walaupun tanpa intervensi rupiah yang menghabiskan cadangan devisa seperti masa sesudahnya, tetapi rupiah menguat karena bangkitnya ekonomi nasional terutama di sektor riil. Dengan menguatnya rupiah, sektor riil yang pada waktu itu terpuruk berhasil bangkit kembali.


Perkembangan sektor riil khusus ekspor manufaktur naik 3,7 persen, khusus produk elektronik naik tajam hingga 109 persen. Dengan demikian, surplus perdagangan menjadi sangat besar yakni mencapai USD 28,6 miliar (bandingkan dengan surplus perdagangan RI pada 2015 yang hanya USD 7,13 miliar). Dengan demikian, cadangan devisa negara juga semakin menguat menjadi USD 29,4 miliar.


Perkembangan tersebut terjadi karena industri nasional kembali bergerak bahkan meningkat. Hal itu terbukti, konsumsi listrik naik drastis sampai 8,5 persen. Padahal di masa Orde Baru ketika industri masih jaya sebelum krisis ekonomi, peningkatan konsumsi listrik hanya 5 persen. Ini menunjukkan sektor riil sebagai leading sector terus bergerak sehingga mampu mendorong pergerakan sektor yang lain.


Gus Dur berhasil memantapkan fondasi ekonomi nasional dengan kiat yang jitu sehingga memperoleh dana besar dari restrukturisasi dan efisiensi BUMN. Dengan begitu, Gus Dur tidak perlu menjual BUMN dengan harga murah atau mengandalkan utang luar negeri. Karena semua utang dibarter dengan undang-undang pesanan mereka, itu yang dihindari Gus Dur. Dari langkah tersebut, Gus Dur tidak menambah utang, melainkan dapat membayar utang negara hingga mencapai Rp100 triliun.


Gus Dur juga menata industri strategis yang lain, yaitu Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang selama di bawah kepemimpinan Habibie pada t 1999 mengalami kerugian terus-menerus. Dengan investasi triliunan tetapi angka penjualan baru mencapai Rp508 miliar dan tiap tahun mengalami kerugian Rp75 miliar.


Maka pada masa Presiden Gus Dur, IPTN berganti nama mejadi PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Dengan perbaikan manajemen, pada 2001 nilai penjualan PT DI naik hampir tiga kali lipat yaitu menjadi Rp1,4 triliun. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh mencapai Rp11 miliar.


Untuk memperkuat sektor riil, Gus Dur juga mulai membenahi perusahaan listrik negara atau PLN yang terus merugi karena dikuasai mafia power plan yang digerakkan perusahaan swasta asing yang bermitra dengan perusahaan swasta nasional. Mereka menjual listrik ke PLN dengan harga yang sangat mahal.


Bandingkan kalau harga listrik per KWH di pasar internasional sekitar 3,5 sen dollar, maka perusahaan swasta  menjual listrik ke PLN seharga 7 sampai 9 sen per KWH sehingga PLN nombok banyak yang membuat perusahaan negara ini terus merugi.


Langkah tersebut diawali Gus Dur dengan mendesak PLN agar melakukan negosiasi ulang soal penetapan harga. Dengan perdebatan keras, akhirnya PLN mendapatkan penurunan harga 4 sen dollar per KWH. Sehingga jika tadinya negara merugi dan terbebani subsidi, kala itu bisa menghemat pengeluaran triliunan rupiah per tahun.


Sebaliknya, negara bisa memperolah keuntungan besar dengan melakukan efisiensi. Karena itulah tingkat konsumsi listrik melonjak 8,5 persen. Pertumbuhan yang tidak pernah dicapai oleh Orde Baru sekalipun.


Walaupun menuai banyak kecaman, kontroversi, dan resistensi politik dengan beberapa kali melakukan reshuffle menteri, Mun’im DZ mencatat bahwa Gus Dur berhasil memulihkan pertumbuhan ekonomi nasional pada angka 4,9 persen. Padahal prediksi awal, Gus Dur hanya akan mampu memulihkan ekonomi nasional pada 2 persen hingga 3 persen saja. Padahal, awalnya Gus Dur menerima warisan pertumbuhan ekonomi minus (-) 3 persen dari BJ Habibie pada September 1999.


Pemulihan ekonomi di era Presiden Gus Dur ini dinilai spektakuler. Bahkan dibandingkan dengan beberapa negara yang tidak mengalami krisis seperti Malaysia dan Korea Selatan yang pertumbuhan ekonominya hanya 3,8 persen dan Thailand hanya 3,6 persen. Mun’im DZ mencatat, simpati dunia dan rakyat dengan kepribadian Gus Dur yang sederhana dan serius membuat rakyat bangkit sendiri dan dunia internasional membantu Gus Dur secara moril dan finansial.


Penguatan ekonomi nasional itu dengan sendirinya mampu memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar dan mata uang asing lainnya. Nilai tukar dollar pada zaman BJ Habibie Rp16.000 per dollar. Sedangkan pada zaman Gus Dur bulan Oktober 1999 sempat mencapai penguatan hingga Rp6.500 per dollar dan naik lagi hingga Rp8.500 per dollar dengan posisi stabil.


Kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Gus Dur beberapa kali membuat IMF gerah. Karena kebijakan ekonomi Gus Dur sepenuhnya berpihak kepada rakyat dalam rangka membangun kedaulatan ekonomi, bukan bergantung pada kehendak ekonomi IMF yang cenderung menjerat.


Gus Dur saat itu juga menolak desakan IMF untuk mendapatkan kebebasan membuka supermarket tanpa batas. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yang digagas NU, Gus Dur menolak desakan IMF dengan tujuan untuk melindungi usaha kecil dan menengah. Perkembangan ini yang oleh para ekonom diistilahkan sebagai sebuah economic miracle (keajaiban ekonomi).


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon