Fragmen

Gus Dur: Kisah Lahir dan Wafat Sang Guru Bangsa

Sel, 8 September 2020 | 05:30 WIB

Gus Dur: Kisah Lahir dan Wafat Sang Guru Bangsa

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. NU Online)

Gus Dur berkacamata dan doyan membaca seperti ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim. Kiai Wahid Hasyim menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002) belajar di madrasah ayahnya di Tebuireng dan pernah belajar di Makkah sebelum terjun ke dunia perpolitikan masa Soekarno.


Meski tak sekolah macam Hollandsche Inlandsche School (HIS), Kiai Wahid Hasyim bisa menguasai bahasa Barat sehingga memperluas cakrawala bacaannya.


Nyai Nafiqah—seorang keturunan priayi dan berharap anaknya jadi orang kota ketimbang menghabiskan hidup di pesantren—pernah meminta seorang manajer perkebunan Eropa mengajari Wahid Hasyim bahasa Inggris dan Belanda. Tak heran, selain bahasa Arab dan pelajaran agama Islam, Wahid Hasyim pun akhirnya bisa berbahasa Inggris dan Belanda.


Aktif seperti ayahnya dan mempunyai wawasan luas, Gus Dur sebagai pimpinan NU di masa Orde Baru adalah salah satu oposisi terkuat rezim Soeharto. Setelah Soeharto tumbang, Gus Dur sempat menjadi presiden sebentar sebelum dilengserkan secara politis oleh DPR.


Dari perkawinannya dengan Sinta Nuriyah, Gus Dur dikaruniai empat putri, yaitu Zannuba Ariffah Chafsoh Wahid alias Yenni Wahid, Alissa Qotrunnada Wahid, Anita Hayatunnufus Wahid, dan Inayah Wulandari Wahid.


Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Memiliki nama asli Abdurrahman Addakhil. Dia adalah putra sulung dari KH Wahid Hasyim dan cucu dari KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Dari pihak Ibu, Gus Dur merupakan cucu dari KH Bisri Sansuri, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur.


Gus Dur pertama kali belajar mengaji dengan sang kakek, KH Hasyim Asy'ari. Di usia 5 tahun, Gus Dur sudah bisa membaca Al-Qur'an. Selepas lulus sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan. Di saat yang sama dia juga ngaji di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.


Gus Dur memiliki kegemaran membaca yang luar biasa. Buku-buku karya Ernest Hemingway, John Steinbach, Will Durant, hingga buku Lenin berjudul What Is To be Done tamat dia baca.


Selesai dari SMEP, Gus Dur melanjutkan ke Pondok Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun lalu ke Pondok Pesantren Tambak Beras di Jombang. Di usia 22 tahun, Gus Dur diberangkatkan untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci.


Setelah itu Gus Dur dikirim belajar ke Al-Azhar University, Kairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah) dari tahun 1964 sampai 1966, lalu ke Universitas Baghdad, Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab pada 1966 hingga 1970.


Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.


Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yang terdiri dari kaum intelektual Muslim progresif dan sosial demokrat.


LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat.


Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.


Dengan popularitas intelektualnya itu, Gus Dur mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas.


Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al-Hikam. Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asy’ari sebagai Dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam, dan misiologi.


Setelah kembali ke tanah air, Gus Dur tak lantas berkiprah di Kepengurusan Nahdlatul Ulama. Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU tapi ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, KH Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.


Baru pada 1984, Gus Dur berkiprah di NU hingga menjabat Ketua Umum Tanfidziyah sampai tahun 2000 atau tiga periode.

 

Pada 1999, Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI secara demokratis menggantikan Bacharuddin Jusuf Habibie. Gus Dur menjabat hingga Mei 2001. Dia dikenal sebagai presiden yang humanis dan juga humoris. Tak heran jika hingga saat ini banyak buku-buku yang tentang koleksi humor ala Gus Dur.


Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta di usia 69 tahun.
 

Abdul Moqsith Ghazali (2018) yang juga dikenal dekat dengan Gus Dur dalam sebuah kesempatan menuturkan bahwa dahulu Gus Dur ditawari umur 90 tahun oleh malaikat.


“Buat apa sih umur panjang-panjang, yang sedang saja lah 69 tahun. Akhirnya benar Gus Dur wafat pada usia tersebut,” ungkap Moqsith Ghazali saat mengisi forum ilmiah tentang moderasi Islam di Bogor, Jawa Barat pada 2018 lalu.


Kisah Gus Dur tersebut muncul ketika Moqsith Ghazali juga menjelaskan riwayat salah seorang sahabat Nabi Muhammad, Sa’ad bin Abi Waqash. Ketika itu sahabat Sa’ad didatangi malaikat pada umur 42 tahun dan ingin mencabut nyawanya.


Seketika sahabat Sa’ad protes kepada malaikat, karena anak-anaknya yang masih kecil. Akhirnya, sahabat Sa’ad berdoa meminta kepada Allah dan diberikan umur panjang. Dikabulkan oleh Allah, 84 tahun baru meninggal. Kuburan sahabat Sa'ad berada di Kota Guangzhou, Tiongkok (China) dan ramai diziarahi banyak orang dari mancanegara.

 

Gus Dur meninggal setelah beberapa hari dirawat di RSCM Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan setelah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjungi Gus Dur. Bahkan, padatnya pentakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari berbagai daerah di Indonesia turut mengantar jenazah putra sulung KH Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di kompleks makam keluarga Tebuireng, Jombang.


Tebuireng saat itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.


Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, musholla, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Konghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.


Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here Rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon