Fragmen

Pesan KH Asnawi Kudus di Muktamar Ke-22 NU Tahun 1959

Sen, 19 Februari 2024 | 09:00 WIB

Pesan KH Asnawi Kudus di Muktamar Ke-22 NU Tahun 1959

KHR Asnawi Kudus saat menyampaikan amanat pada Muktamar Ke-22 NU tahun 1959. (sumber: Buku Kenang-kenangan Muktamar ke-XXII Partai Nahdlatul 'Ulama di Jakarta)

Dukungan atas pengusulan gelar pahlawan nasional bagi KH Raden Asnawi Bendan Kudus, Jawa Tengah terus dimatangkan. Bahkan Naskah akademik pengusulan gelar pahlawan nasional untuk KH Asnawi Kudus sudah diserahkan ke Tim Peneliti dan Pengkaki Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Kudus.


Salah satu pematangan pengusulan gelar tersebut ialah diadakannya acara Konferensi internasional bertajuk Pengajuan Gelar Pahlawan Nasional KHR Asnawi, Pendiri dan Penggerak Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng, Sabtu (10/2/2024). 


KH Asnawi merupakan salah satu tokoh pendiri dan penggerak NU. Pada Buku Kenang-kenangan Mu'tamar ke-XXII Partai Nahdlatul 'Ulama di Jakarta (diterbitkan oleh PBNU, 1960), penulis menemukan pesan penting dari KH Asnawi.


Muktamar NU yang dihelat pada tanggal 13-18 Desember 1959 atau 12-17 Jumadil Akhir 1379 H tersebut, merupakan yang terakhir diikuti oleh Kiai Asnawi. Hampir setiap penyelenggaraan Muktamar, Kiai Asnawi selalu ikut menghadiri.


Pada acara penutupan Muktamar Ke-22 NU, KHR Asnawi Kudus yang kala itu berusia 98 tahun memberikan nasihat penting, yang disampaikan sebelum ia memimpin doa penutup:


Assalamu'alaikum wr. wb.


Hadlirin jang terhormat,


Oleh karena manusia tempat lupa, tempat salah, "al-insan machallul chotho' wan isjaan", ingat, djangan sampai lupa ini. Kedua, supaja manusia senantiasa ingat, bahwa "Al-alamu mutaghojjirun"


Djangan lupakan itu! Sebab oleh karena manusia itu "machallul chotho' wan isjaan", maka terpaksa dielingkan (diperingatkan-Pen) kepada tembung (kalimat) "al-alamu mutaghojjirun".


Djika ingat ini, tidak ada orang jang ngresulo (menggerutu-Pen), tidak! Sebab hal itu adalah perkara jang sudah mesti, djangan dipikir! Diterima jang baik, diterima sjukur! Seperti orang jang ditaghjir, rambutnya hitam lantas putih, apakah ngresulo? (Hadirin menjawab: Tidak!).


Pipi memper-memper lantas kempong apa ada jang mikir? Tidak ada? Lha itu semua taghjir! Djangan dipikir dengan susah karena tidak boleh tidak harus begitu. Supaja diingat-ingat, djangan lupa!


Tjuma sebegitu sadja saja punja wasiat, djangan dilupakan! Sebetulnja tembung Melaju (bahasa Indonesia-Pen) tidak bisa. Ja bisa, bisa semua ja tidak. Sedikit-sedikit ja bisa. Bisa semua ja tidak. Tidak bisa semua ja tidak.


Djadi, orang itu apa sadja merasa bodoh. Tidak ada jang tidak bodoh. Djangan merasa pinter sendiri! Djangan!!! Jang bodoh ada jang bodoh lagi, jang pinter ada jang lebih berpangkat, biar tinggi ada jang lebih tinggi lagi!


Hanja ALLAH sendiri jang semporna.


Wassalamu 'alaikum wr. wb.


Pesan ini, meskipun disampaikan pada tahun 1959, masih sangat relevan di masa kini. Seminggu setelah menghadiri Muktamar NU tersebut, 26 Desember 1959 atau 25 Jumadil Akhir 1379 H, Mbah Kiai Asnawi wafat.

 

Ajie Najmuddin, penulis buku Menuju Satu Abad NU