Fragmen

Pers NU (Bagian I): Sebelum Indonesia Merdeka

Ahad, 9 Februari 2020 | 13:45 WIB

Pers NU (Bagian I): Sebelum Indonesia Merdeka

Swara Nahdlatoel Oelama

Hampir setiap perkumpulan (organisasi) pada zaman penjajahan Belanda memiliki media pemberitaan sendiri sebagai corong pemikiran dan pergerakan. Sarekat Islam misalnya punya media Oetoesan Hindia, Perhimpunan Indonesia punya Indonesia Merdeka. 

Para pendiri NU, misalnya KH Abdul Wahab Chasbullah menyadari akan pentingnya pers. Dalam sebuah tulisannya, ia mengatakan, sebuah perkumpulan yang tak memiliki media, sama dengan perkumpulan buta tuli. Maka, Kiai Wahab terjun langsung menangani media pertama NU, Swara Nahdlatoel Oelama (SNO). KH Bisri Syansoeri dan KH Mas Alwi Abdul Aziz turut serta meneglolanya. 

Ensiklopedia Nahdlatul Ulama menyebutkan bahwa tak ada catatan pasti sejak kapan Swara Nahdlatoel Oelama tersebut diterbitkan. Salah satu terbitan tertua yang masih tersimpan di perpustakaan PBNU dan juga Arsip Nasional adalah edisi nomor 6 tahun ke-1 pada Jumadits Tsani 1346 H. 

Jika merujuk pada nomor tersebut, dapat dipastikan edisi pertama terbit pada Muharam 1346 H atau sekitar Juli 1927 M. Sekitar empat bulan sebelum muktamar kedua NU atau setahun lebih 4 bulan setelah berdirinya NU, 31 Januari 1926.  

Swara Nahdlatoel Oelama menggunakan bahasa Jawa dengan tulisan huruf Arab pegon. Dengan aksara itu, para kiai memperkenalkan perkumpulannya kepada khalayak umum dan kepada para pengikutnya. Isinya tidak melulu kupasan masalah keagamaan dan keorganisasian, tapi berita tentang kejadian di belahan dunia lain. 

Betul apa yang dikatakan Kiai Wahab seperti yang disebutkan di muka, media Swara Nahdlatoel Oelama menjadikan NU tidak buta tuli. Ia mendengar persoalan-persoalan anggota dan simpatisannya melalui tanya jawab berbagai persolan. 

Di antara yang kerap bertanya kepada majalah itu adalah KH Fadhil bin Ilyas dari Tasikmalaya. Kelak, ia akan menjadi pendiri dan penggerak di daerah itu bersama kiai-kiai lain. Ia pula yang kemudian mejadi pendiri NU di Ciamis.

KH Wahab Hasbullah berkata: berikut ini surat dari kiai Fadhil bin Ilyas:

Saya mendapatkan surat dari saudara saya, almukarrom Kiai Fadhil Tasikmalaya. Isi suratnya menjelaskan bahwa di Tasikmalaya mulai melaksanakan puasa pada hari Rabu. Bagaimana hukumnya orang yang melakukan puasa pada hari Kamis berdasarkan i’timad dari ahli hisab. Tetapi yang melakukan puasa pada hari Kamis itu sebagain setengah dari penduduk Tasikmalaya setelah melihat majalah NU nomor 6 dan juga di majalah NU Nomor 7 dari Riyadhoh Attholabah. Di dalam majalah itu menerangkan bahwa permulaan puasa pada hari Kamis dan hari raya hari Jumat, maka puasa hanya dilakukan 29 hari.  Apakah yang demikian itu wajib melakukan qodho’ atau tidak? Pertanyaan saya ini semoga bisa segera dibalas. Jangan sampai tidak dibalas. Karena ada kiai yang mewajibkan melakukan qodho’. Karena semakin belum putus. Setelah hari raya Idul Adha diperintahkan untuk datang ke kabupaten. Saya minta keterangan dari kitab, saya juga menjawab bahwa yang puasa sejak hari Kamis dan tidak wajib qodho.  Ucapan kiai yang mewajibkan qodho’ sebab tidak 
menurut awalnya Ramadhan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah: ucapan saya tidak wajib qodho’ berawal dari tasdiq dari ahli hisab sehingga tadi bulan hanya 29 hari sedang tersebut dalam kitab-kitab orang yang tasdiq terhadap ahli hisab wajib atau boleh melakukan dan juga tersebut dalam kitab Bughyatul musytarsyidin halaman 109 maka yang melakukan puasa mulai hari Kamis dengan beriktikad jazem terhadap kebenaran ahli hisab.  
 
Alhaqir Fadhil ibnu Ilyas Tasikmalaya (diterjemahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia)

Setelah NU tersebar ke berbagai wilayah di luar Jawa, Swara Nahdlatoel Oelama berganti nama menjadi Berita Nahdlatoel Oelama. Kali ini tugas Kiai Wahab lebih fokus ke pengembangan organisasi, sementara majalah ditangani para tenaga muda seperti Muhammad Ilyas dan Mahfudz Shiddiq. Majalah yang terbit dwimingguan ini, tak hanya beredar di Hindia Belanda, tapi di Tanah Suci Makkah. 

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad