Fragmen

Pendidikan di Lingkungan NU dalam Warta Koran Sebelum Indonesia Merdeka

Jumat, 20 September 2024 | 21:30 WIB

Pendidikan di Lingkungan NU dalam Warta Koran Sebelum Indonesia Merdeka

Ilustrasi pemberitaan di koran Sinar Pasoendan yang terbit 19 November 1934. (Foto: dokumentasi penulis)

Tapi naha Nahdlatoel Oelama moal ngajakeun sakola modern saperti Moehammadijah. Pikeun ra’jat pada resep oge kana sakola-sakola noe pangadjaranana ditjampoer agama cara H.I.S. met de Qur’an. Gening pikeun ra’jat Tasik oge loba pisan noe ngasoepkeun anakna ka Bahrain School da di eta sakola diajakeun pangadjaran biasa sarta pangadjaran agama, sabab pikir kolot baroedak teh soegan bae oepama anakna kaloear ti eta sakola bisa teroes ditampa di Al-adjhar Egypt –(Mesir). 


(Tapi kenapa Nahdlatul Ulama tidak akan mendirikan sekolah modern seperti Muhammadiyah. Masyarakat sepertinya menyukai mengrimkan anak-anaknya ke sekolah dengan pengajaran campuran antara pendidikan umum dan agama seperti H.I.S. de Quran. Sebagai contoh, masyarakat Tasikmalaya tak sedikit mengirimkan anaknya ke Bahrain School yang memadukan pengajaran umum dan agama. Mungkin para orang tua berpikir suatu saat setelah anaknya lulus dari sekolah tersebut, bisa dikirim ke Al-Azhar, Mesir) 


Narasi yang bernuansa mempertanyakan -untuk tidak menyebut menggugat, diturunkan koran Sinar Pasoendan yang terbit 19 November 1934. Titimangsa tersebut berarti sekitar 8 tahun NU berdiri secara nasional dan beberapa tahun setelah NU Tasikmalaya berdiri. 


Kenapa dikaitkan dengan Tasikmalaya? Karena konteks koran tersebut adalah menyinggung NU cabang Tasikmalaya pada 1934. 


Ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait berita di koran Sinar Pasoendan tersebut. Pertama, sepertinya koran tersebut kurang adil dalam melihat perjalanan NU dalam bidang pendidikan. Pasalnya, Muhammadiyah berdiri 1912, sementara NU 1926. Mestinya tak bisa perkumpulan yang telah berdiri 22 tahun dibandingkan dengan yang baru berdiri 8 tahun. 


Kedua, Sinar Pasoendan tidak menyimak tentang jatuh bangunnya NU Cabang Tasikmalaya sejak awal berdiri. Para pengurusnya bongkar pasang beberapa kali karena menghadapi stigma-stigma negatif dari berbagai pihak. Salah satu yang terkenal adalah dituduh sebagai komunis dan wahabi, yang membuat KH Wahab Chasbullah pada satu tulisannya di Swara Nahdlatul Ulama merasa ingin tertawa sekaligus sedih. 


Dengan demikian, koran tersebut, tidak semestinya membandingkan NU Cabang Tasikmalaya dengan Muhammadiyah. 


Ketiga, pada pasal 2 Statuten (Anggaran Dasar) 1930 disebutkan tujuan perkumpulan NU berdiri, yaitu “memegang dengan teguh pada salah satu satu dari mazhab empat, yaitu Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbali, dan mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam.”


Bagaimana dengan urusan pendidikan? Pada pasal 3 statuten tersebut dijelaskan tentang ikhtiar yang akan dilakukan NU yakni poin d: “Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-madrasah jang berdasar Agama Islam.”


Namun, tentu saja untuk melaksanakan poin d tersebut tidak semudah membalikkan tangan pada situasi kolonialisme bangsa lain di satu sisi, sementara di sisi lain perpecahan akibat pertentangan masalah khilafiyah semakin merebak di mayarakat. NU kemudian mengerjakan hal yang bersifat prioritas. 


Tahapan pergerakan NU 

Dari tujuan kalimat tersebut, bisa dipahami, tujuan pokok NU pada awal berdiri adalah mempertahankan umat Islam bermazhab ala Ahlussunah wal Jamaah. Tujuan tersebut harus ditempatkan pada konteksnya yaitu menguatnya paham Wahabisme di Tanah Suci Makkah yang kemudian tersebar juga di Nusantara. 


Para kiai pendiri NU sebetulnya tidak terlalu risau dengan persebaran paham itu. Namun, setelah didiamkan cukup lama, ternyata paham tersebut memiliki watak menyalahkan keberagamaan Ahlussunah wal Jamaah yang telah tertanam di Nusantara sejak berabad-abad sebelumnya. 


Watak menyalah-nyalahkan itulah yang kemudian memicu para kiai Ahlussunah wal Jamaah mengorganisasi diri dalam sebuah perkumpulan bernama Nahdlatul Ulama. Tak heran kemudian dalam beberapa tahun NU berdiri, tidak memikirkan hal-hal lain seperti pendidikan modern yang “dituntut” koran Sinar Pasoendan, melainkan fokus membahas persoalan-persoalan khilafiyah di masyarakat. 


Kita bisa mencermati tulisan KH Abdulhalim Shiddiq berjudul (Riwajat dan Djasa N.O., yang terbit di Berita Nahdlatoel Oelama edisi No. 4-5, 15 Desember 1938 – 1 Januari 1939) yang ditemukan Ayung Notogero dan dimuat NU Online pada tulisan berjudul Menelusuri Ulang Sejarah Hari Lahir LP Ma’arif NU


Abdulhalim Shiddiq mengungkap tentang tiga fase perkembangan NU hingga pada 1938. Menurut dia, awal-awal berdirinya NU itu disebut 'idaran pertama' yang berkutat pada musyawarah fiqhiyah. Baru pada 'idaran kedoea' NU mulai berupaya untuk menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai upaya untuk membentuk kehidupan yang Islami. Lantas, dilanjutkan dengan 'idaran ketiga' yang memperluas sentuhannya kepada seluruh lapisan masyarakat.


Apa yang dikatakan Abdulhalim Shiddiq itu senada dengan yang ditulis koran Pemandangan edisi 24 Juli 1939 menurunkan liputan panjang terkait perkembangan NU dalam berbagai bidang 14 terakhir atau setelah muktamar ke-14 di Magelang, Jawa Tengah, pada 1939. 


Menurut koran tersebut, NU mengupayakan kepentingan umat Islam. NU tak hanya membicarakan urusan akhirat, tetapi juga urusan duniawi. Mari kita simak liputan tersebut:


Perdjoangan NU tidak meloepakan dalam mengatoer kedoeniaan jang dibolehkan oleh agama, ialah dengan djalan menoedjoe perbaikan economie, dengan mengingati keboetoehan: hari hari, soal perdagangan pertanian dan pertoekangan. Poen soal memadjoekan onderwijs (pendidikan, pen.) dan sociaal, sebagaimana telah terseboet didalam daftar oesaha N. O. 


Lanjutan koran tersebut yang mengindikasikan NU memperjuangkan kepentingan-kepentingan umat Islam: 


….beberapa keberatan2 oemmat Islam, pertama oleh spr, diterangkan hilangnja beberapa hak oemmat Islam, sehingga mendjadi keroegian baginja. Laloe dioemoemkan setengah dari pemerentah, jang djoega telah diperdengarkan dimoeka Openlucht vergadering penoetoepan Congres di Magelang...


Pada bagian selanjutnya dari liputan tersebut juga menyinggung tentang NU dengan pendidikan: 


Nahdlatoel Oelama dengan soal Pergoeroean, dan social. Sebagaimana daftar oesahanja N.O. telah dima'loemi oemoem, pertama diantaranja terdapat memperbanjak dan mengoeroes madrasah2, mengadakan, memelihara atau menoendjang dan mengoeroes langgar2, pesantren2, serta disampingnya itoe poen memperhatikan bagian2 penoeloeng fakir miskin dan jatim. 


Bertali dengan peredaran zaman dan keboetoehan orang semakin mendesak, maka oleh karenanja dengan sendirinja N.O. ta' ketinggalan moelai menoedjoekan 'perhatiannja akan perbaikan peladjaran dan pendidikan, hingga dapat menjelaraskan akan keboetoehan zaman jang berdasarkan keislaman. 


Demikian dapatlah dibentoek dan di-organiseerd badan poesat pergoeroean, jang diikoeti oleh segenap tjabang2nja.


Sekolah-sekolah NU era kolonial Belanda 

Pada masa pertumbuhan dan perkembangan 1926-1940-an, NU adalah salah satu pihak yang memerhatikan bidang pendidikan. Dalam hal ini, perlu dipertegas, perhatian yang dimaksud adalah secara organisasi, bukan perorangan. Pasalnya, kalau dihitung perorangan, para kiai pendiri NU adalah mereka orang yang tiap hari bergulat dengan pendidikan pesantren, bahkan ada sebagian kiai yang meneruskan lembaga pendidikannya yang telah berdiri ratusan tahun.  


Sebagai bukti memiliki perhatian dalam bidang pendidikan, NU di tingkat cabang hingga ranting pada masa itu, mengelola madrasah-madrasah, bahkan sekolah umum semacam H.I.S. Lembaga-lembaga itu dikelola sendiri secara organisasi dan dengan tegas tak menerima sumbangan dari pemerintah Hindia Belanda. 


Berikut ini informasi dari laporan hasil muktamar dan koran yang tebit masa itu terkait bidang pendidikan dengan contoh NU Cabang Purwakarta (Jawa Barat) dan NU Banyumas (Jawa Tengah).  


Pada laporan hasil muktamar NU ke-14 di Magelang, mencatat laporan-laporan dari tiap cabang NU yang hadir. Berikut ini laporan dari NU Purwakarta. 


NU cabang Purwakarta mula-mula menyampaikan salam para pengurus dan leden (anggota) di sana. Kemudian lebih jauh spr. menyatakan kesimpatiannya pada uraian H.B.N.O tentang soal madrasah dan mengharap dapat mengerjakan dan menanti-nanti pimpinan. Lalu menerangkan bahwa di sana telah didirkan Persatuan Guru-guru N.U. (PGNU).   


Perlu mendapat catatan di sini, sebuah cabang yang melaporkan memiliki persatuan guru, berarti cabang itu memiliki sekolahan dan sekaligus murid. Bukti NU Purwakarta memiliki madrasah terungkap dari beberapa laporan koran Pemandangan yang memberitakan tentang kenaikan kelas dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di lembaga pendidikan itu. 


Sebuah berita yang ditulis koran Pemandangan edisi 1939 Doenia N. O. pada berita berjudul Perajaan Mauloed, secara tersurat menginformasikan tentang sekolah NU yang menjadi tempat sebuah acara NU: 


Pada malam Minggoe, ddo. 6/7 Mei '39, oleh oesaha N.O. Soebang (waktu itu Subang menjadi bagian Purwakarta, pen.) telah diadakan perajaan Mauloed Nabi s.a.w., bertempat di Madrasah N.O. disertai poela optochts anak-anak moerid dan beberapa soembangan keradjinan lampoe. 


Berita tersebut tidak menyebutkan sekolah tersebut dikelola cabang atau ranting Subang. Hanya menyebutkan sekolah NU. Hal itu patut dipertanyakan karena pada berita edisi 1938, koran Pemandangan pada berita NO Kring Soebang memberitakan tentang peringatan Maulid Nabi yang berlangsung juga di sekolah NU. Pada berita tersebut disebutkan bahwa sekolah NU tersebut dikelola ranting NU Subang.


Berdasarkan berita itu, jelas disebutkan kegiatan NU dilaksanakan di madrasah NU, disebutkan pula memiliki murid. Namun, timbul pertanyaan apakah bangunan madrasah itu milik NU? Bisa jadi bahasa pers menyebutkan sekolah itu milik tokoh NU atau sekolah milik lain yang ditempati sebuah acara NU. Artinya, pers hanya memudahkan penamaan tempat. Tidak menutup kemungkinan madrasah itu dikelola NU, tapi bangunan fisiknya berstatus sewaan atau menumpang di sekolah lain. Memang belum ditemukan berita yang secara tersurat tentang hal itu.  


Pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud sekolah NU pada berita edisi 1939 dan 1941 di atas sama dengan sekolah NU pada 1938. Jika sama, berarti perguruan atau sekolah NU yang menjadi kantor cabang itu dikelola oleh ranting Subang. Bisa jadi juga ranting NU Subang memiliki sendiri dan mengelolanya, begitu pula cabangnya. Namun, hal yang terakhir ini belum bisa dipastikan. Namun yang jelas, ada sekolah NU di Subang. 


Namun demikian, koran Pemandangan pada edisi lain menyebutkan bahwa sekretariat NU Purwakarta yang berada di Gang Tengah Subang disebut Gedong Pergoeroean NO. Dengan nama itu, jelas sudah sekretariat NU-nya pun sepertinya berfungsi sebagai lembaga pendidikan.


Informasi lain, ditemukan NU Banyumas mendirikan sekolah H.I.S pada tahun 1941. Informasi itu ada di koran Pemandangan edisi 11 AGustus 1941 menurunkan berita berjudul Pemboekaan Sekolah Nahdlatoel Oelama


Nahdlatoel Oelama di Soekaradja (Banjoemas) telah melangsoengkan openbare resepsi sebagai pemboekaan sekolah H.I.S. dan Shackel. Resepsi ini diadakan di gedong sekolahan sedang tetamoe jang datang tjokoep memoeaskan, demikian pula wakil perkoempoelan dan pemerintah.  


Lanjutan berita itu mengabarkan bahwa tokoh NU di Banyumas, H. Moectar menerangkan bentuk sekolah NU tersebut sebagaimana sekolah-sekolah H.I.S. yang lain. Hanya saja, sekolah milik NU ada tambahannya, yaitu pelajaran agama.