Pada tulisan sebelumnya, diterangkan Sekolah Asasut Taāmir yang berada di Kampung Tegalsari, Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah sudah berdiri sejak zaman 1930-an, dan bertahan hingga menjelang tahun 1960. Ini artinya, sekolah tersebut telah melalui tiga masa, yakni masa Kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan Negara Indonesia setelah kemerdekaan.
Untuk menjadi siswa di zaman dulu, juga tak perlu repot mengikuti bermacam-macam tes. Salah satu saksi hidup, Siti Sudarmi, yang pernah menjadi murid Asasut-Taāmir mengungkapkan persyaratan untuk masuk sekolah ini pun tak sesulit di zaman sekarang. Bahkan, syaratnya pun tergolong unik dan sederhana yakni anak harus gaduk kuping (tangan kanan bisa memegang telinga kiri dari atas kepala).
āSaya masuk sekolah ini pada tahun 1947 dan lulus pada tahun ajaran 1953-1954. Saat itu, untuk masuk ke sekolah ini (Asasut Taāmir), syaratnya anak harus sudah gaduk kuping,ā ungkap dia.
Syarat untuk masuk sekolah ini, kemungkinan diadaptasi pada syarat untuk masuk sekolah dasar di zaman itu, seperti Sekolah Rakyat (SR). Persyaratan yang demikian, terkadang menjadikan anak yang secara usia sudah layak, akan tetapi belum bisa bersekolah karena belum gaduk kuping. Akhirnya, baru di usia 10 atau 11 tahun mereka baru bisa mengenyam bangku sekolah dasar.
Di dalam kelas, sebagai alat pembelajaran yakni meja yang terangkai dengan tempat duduk. Bangku terbuat dari kayu jati tua. para siswa menggunakan sabak dan kapur untuk menulis. Meski demikian, lanjut, dalam proses pembelajaran, siswa seringkali mengalami banyak kendala. Bahkan, sekolah sering diliburkan karena masih sering terjadi perang. Faktor ini pula yang menjadi penyebab banyaknya murid yang tidak dapat menyelesaikan sekolahnya.
āAwal saya masuk, muridnya cukup banyak. Namun, ketika lulus tinggal sedikit, sehingga untuk pelaksanaan ujian, harus ikut di SD Ketelan,ā kenangnya.
Kurang Perhatian
Seiring perkembangan waktu, usai persoalan perang yang berimbas pada persoalan politik dan ekonomi, pun berdampak pada kelangsungan Sekolah Asasut Taāmir. Hal tersebut ditambah dengan faktor sekolah Islam lain seperti Al-Islam, Nahdlatul Muslimat (NDM), Salafiyah, Djamaāatul Ichwan dan lain sebagainya yang semakin berkembang.
Lambat laun, bak seleksi alam, Asasut-Taāmir mulai ditinggalkan para peminatnya. Menjelang tahun 1960-an Asasut-Taāmir yang vakum, kemudian berganti menjadi sekolah model madrasah diniyah sore, yang pengajarannya hanya fokus pada pelajaran agama. Namun, sayangnya model sekolah ini kurang diminati oleh masyarakat, termasuk warga Tegalsari sendiri.
Bangunan sekolah yang tidak terpakai di pagi hari, sempat dimanfaatkan untuk Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Guru Atas (SGA) Nahdlatul Ulama, yang kelak menjadi cikal bakal Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU), kini menjadi UNU Surakarta).
Sampai akhirnya sekitar tahun 1968, geliat masyarakat Tegalsari untuk menghidupkan pendidikan melalui sekolah dasar kembali muncul. Melalui peran ibu-ibu yang dipelopori antara lain Dra. Nur Hayati binti Alwi, Hj. Nafiah, Hj. Mudrikah, Hj. Muttakiah, Nyai Ishom serta didukung tokoh lain seperti KH Naharussurur, Noto Kartono, KH Abdul Karim, Hartini Machasin, Fatimah Ardani, dan lain sebagainya. Mereka inilah yang bisa disebut sebagai pendiri SD Taāmirul Islam Surakarta. Lahumu al-fatihah! (Ajie Najmuddin)
Sumber :
- Wawancara Bapak H. Ahmaduhidjan, 16 Juni 2015.
- Wawancara Ibu Siti Sudarmi, 2015
- Zuhri, Saifuddin, Berangkat dari Pesantren, (LKiS, Yogyakarta, 2013).