Fragmen

Misi Diplomatik Melalui Haji di Masa Revolusi

Sel, 13 Juni 2023 | 13:30 WIB

Misi Diplomatik Melalui Haji di Masa Revolusi

Jamaah haji tempo dulu saat keluar dari kapal laut. (Foto: Arsipnas)

Haji bukanlah sekadar menunaikan kewajiban melaksanakan rukun Islam yang kelima. Lebih dari itu, haji bagi umat Islam Indonesia di masa-masa perjuangan juga mengemban misi kemerdekaan dan risalah kebangsaan.


Di Kota Suci Makkah, saban tahun, umat Islam dari berbagai penjuru di dunia berkumpul dalam rangka melaksanakan ibadah haji, satu hal yang wajib dilaksanakan bagi Muslim yang memiliki kemampuan secara keuangan dan fisik.

 

Namun, ibadah haji tidaklah dilaksanakan secara murni hanya untuk berhaji dengan melaksanakan segala rukun dan wajib haji, dan mengupayakan segala sunnahnya. Di masa perjuangan kemerdekaan, haji juga menjadi momentum yang tepat nan penting untuk menggalang dukungan dari sejumlah bangsa negara lain.


Pasalnya, kumpulan umat Islam dari berbagai penjuru umat Islam terlalu sederhana untuk disepelekan dan dilepaskan begitu saja. Karenanya, umat Islam Indonesia tidak menyia-nyiakan waktu haji ini hanya untuk menjalankan ibadah mahdlah, yakni yang berhubungan langsung dengan Allah, tetapi di waktu yang sama, mereka juga menunaikan ibadah ghairu mahdlah, yakni ibadah yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, dalam hal ini adalah mewujudkan kemerdekaan bangsa dan negara.


Masa kolonialisme

Ibadah haji sulit untuk dilaksanakan di masa-masa perjuangan. Bukan saja karena medan perjalanan yang berat mengingat masih menggunakan kapal laut dan waktu yang lama, tetapi juga faktor politik yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Kesulitan itu tidak berhenti di situ, tetapi juga faktor alam lain yang membuat perjalanan haji kian berat, seperti adanya wabah yang membuat umat Islam harus menjalani sejumlah karantina dan pemeriksaan yang sangat ketat.


Namun, di balik semua itu, umat Islam Indonesia di sana menemui sejumlah ulama dan tokoh penting dari berbagai penjuru dunia, khususnya dari Nusantara, guna belajar memperdalam ilmu agama Islam.

 

Sebagaimana disebutkan Eric Tagliacozzo dalam The Loungest Journey: Southeast Asians and The Pilgrimage to Mecca, para haji ini memperpanjang waktu tinggal mereka selepas menunaikan rukun Islam kelima itu guna menyerap wawasan keagamaan yang lebih luas dari para guru dan ulama di sana.


Tentu mereka tidak saja bertemu dengan guru-guru itu, tetapi juga menjalin komunikasi dengan murid-murid lainnya. Dari situlah, mereka membentuk jaringan sanad keilmuan dan keagamaan. Dalam praktiknya, bukan hanya itu saja, mereka juga membangun jaringan sosial.


Masa Revolusi

Praktik ini terus berlanjut meskipun Indonesia telah berhasil merdeka pada 17 Agustus 1945. Pasalnya, Indonesia tidak atau belum betul-betul lepas dari kekangan Belanda. Mereka masih berupaya untuk kembali menguasai negeri yang ratusan tahun pernah dijajahnya itu. Karenanya, pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dengan upaya yang mereka lancarkan.


Melalui haji ini, pemerintah Indonesia mengirimkan sejumlah delegasi untuk kembali menggalang dukungan pengakuan atas kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Di satu sisi, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) melalui Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari umat Islam tidak wajib melakukan ibadah haji karena suasana genting negara yang perlu untuk mengusir penjajah. Di sisi lain, pemerintah mengirimkan Misi Haji pada tahun 1948. Misi Haji ini terdiri dari KH Mohd Adnan, TH Ismail Banda, H Saleh Suaidy, dan TH Syamsir St R Ameh.


Saat itu, bendera Merah Putih berkibar saat wukuf di Padang Arafah. Bangsa Indonesia yang bermukim di Makkah pun terharu melihat kibaran Merah Putih. Di saat yang sama, kibaran Merah Putih juga membangkitkan semangat perjuangan bangsa lain yang tengah memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari jajahan negara-negara Barat. Pun bangsa Indonesia memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara-negara Arab. (Sumuran Harahap dan Mursidi, Lintasan Sejarah Perjalanan Jamaah Haji Indonesia. Jakarta: Insan Cemerlang, 1994)


Di tahun sebelumnya, Pemerintah Belanda mengirimkan misi haji dari Indonesia Timur ke Arab Saudi, tepatnya pada tahun 1947. Namun, pemerintah Arab Saudi mengakui kemerdekaan Indonesia sehingga misi yang dilancarkan penjajah itu gagal.


Sementara pada tahun 1949, terdapat dua misi haji dari Indonesia, satu dari pemerintah Indonesia, satu lagi dari Belanda. Raja Saudi mau menerima misi haji dari Belanda (disebut Ali Hasjmy sebagai Misi Haji Boneka) asalkan bergabung dengan misi haji yang diutus langsung oleh Pemerintah Indonesia.


Misi haji kedua pemerintah Indonesia itu pun memperoleh kemenangan diplomasi yang cukup besar, sebagaimana disebut Ali Hasjmy dalam tulisannya yang berjudul Naik Haji Sambil Melaksanakan Tugas Diplomasi dalam Naik Haji di Masa Silam Tahun 1900-1950 (2019).


Misi Haji Indonesia kedua itu dijalankan oleh enam orang, yakni (1) Syekh H Abdul Hamid sebagai ketua, (2) S R H Ameh Sjamsir, (3) Mohammad Noer El Ibrahimy, (4) Prof Abdulkahar Muzakkir, (5) Ali Hasjmy, dan (6) Syekh Awab Syahbal.


Diceritakan Ali Hasjmy dalam tulisan yang sama, bahwa mereka berangkat pada pertengahan bulan September ke Yogyakarta. Di sana, mereka bertemu dengan Presiden Sukarno, Menteri Sosial/Perhubungan Koesnan, Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, Menteri Agama KH Masykur, Panglima Jenderal Besar Sudirman, dan Bung Tomo.


Kemudian, mereka kembali ke Jakarta dan kesulitan untuk menggunakan paspor Indonesia mengingat masih ada Belanda. Mereka berangkat dengan pesawat KLM milik Belanda pada tanggal 27 September 1949 dan tiba di Jeddah pada tanggal 30 September 1949. Kedatangan mereka pun disambut oleh HM Rasjidi selaku Duta Besar Indonesia dan beberapa tokoh Indonesia, serta wakil Kerajaan Arab Saudi.


Pada kesempatan itu, mereka bukan saja berhaji, melainkan juga mengadakan sejumlah pertemuan dengan perwakilan pemerintah Arab Saudi, tokoh dari Palestina, Pakistan, Mesir, Turki, Suriah, Tiiongkok, Iran, Yaman, dan juga wakil jamaah haji Indonesia, serta mukimin Indonesia di Hijaz.


Mereka juga sempat menghadap Raja Abdul Aziz bin Saud di Istana Mina dan Istana Makkah. Sang raja pun memberikan berbagai fasilitas bagi delegasi itu. Delegasi Misi Haji Indonesia juga mengabarkan berita kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar dan radio.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad