Fragmen

Rupa-Rupa Biaya Haji di Masa Kolonial Belanda

Kam, 23 Februari 2023 | 20:00 WIB

Rupa-Rupa Biaya Haji di Masa Kolonial Belanda

Calon jamaah haji tempo dulu sedang turun dari kapal. (Foto: Dok. Arsip Nasional)

Biaya ibadah haji yang dibayarkan jamaah di Indonesia di masa kini sudah mencakup keseluruhan perjalanan hajinya, mulai dari tiket pesawat pergi dan pulang, transportasi di sana, makan, penginapan, hingga bekal uang dalam bentuk mata uang Real. Bahkan, biaya haji juga dibantu dengan nilai manfaat dari tabungan yang sudah disetorkan beberapa tahun sebelumnya.


Biaya haji tahun 1444 H atau 2023 telah disepakati oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sebesar Rp90.050.637,26.

 

Biaya tersebut akan dibagi menjadi dua, yakni biaya yang ditanggung oleh jamaah dan biaya yang dibebankan pada nilai manfaat dari uang yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

 

Persentase yang disepakati adalah 55,3 persen atau Rp49.812.700,26 ditanggung oleh jamaah, sedangkan selebihnya, yakni Rp40.237.937 atau 44,7 persen ditanggung oleh nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji.


Biaya perjalanan ibadah haji tahun 2023 itu terdiri atas biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (PP) sebesar Rp32,74 juta, living cost Rp3,030 juta, dan paket layanan masyair sebesar Rp14,03 juta.


Biaya haji masa kolonial Belanda

Sementara itu, biaya haji di masa penjajahan Belanda sangat berbeda karena belum mencakup biaya makan, penginapan, dan transportasi di tanah suci. Biaya yang dibayarkan hanya untuk perjalanan menggunakan kapal dan syekh saja. Pembayaran menggunakan mata uang Belanda zaman dulu, Florin (f).


Biaya perjalanan dari kota-kota pelabuhan di Jawa menuju Jeddah sebesar f.95 (95 Florin) atau Rp23.568.650,4 dengan menggunakan kapal milik perusahaan Nederlandsche Lloyd atau Rottterdamsche Lloyd. Hal ini sudah termasuk dengan biaya syekh, pembimbing haji. Sementara tiket pergi dan pulang secara langsung untuk kapal ini sebesar f.150 (Rp37.316.379,7) tanpa biaya syekh. Jamaah harus membayar upah untuk syekh sebesar f.17,50 (Rp4.353.585,76). Hal ini sebagaimana termaktub dalam buku Berhaji di Masa Kolonial yang ditulis oleh Prof Dien Majid berdasarkan dokumen Arsip Nasional RI, Ged. CI. 2510/1896.


Ada lagi yang lebih murah, yakni kapal Watson & Co milik Ocean, dengan biaya f.65 (Rp16.170.415). Namun, biaya ini tidak mencakup komisi untuk syekh. Biasanya, jika digabungkan biayanya akan menjadi f.85 (Rp21.145.964,8). Sementara biaya pulang dari Jeddah ke Nusantara dengan menggunakan agen yang sama, jamaah akan dipungut biaya f.92,50 (Rp23.011.856,9), sudah termasuk biaya upah syekh sebesar f.17,50 (Rp4.353.585,76) Artinya, jika digabungkan tiket pergi dan pulang, jamaah haji harus membayar sekitar f.180 (Rp44.779.785,7).


Adapun harga tiket kapal termurah adalah kapal berbendera Prancis. Pelayaran rute Singapura ke Jeddah hanya dikenai biaya f.7,50 (Rp1.865.892,12) hingga f.10 (Rp2.487.693,64). Sementara para syekh di sini tidak mendapatkan komisi yang tetap. Ada yang sekaligus menjual tiket dengan biaya f.39 (Rp9.702.281,48) sekaligus biaya pelayanan sejak dari Jawa dan berlaku juga sebaliknya untuk kembali ke Jawa.


Namun, biaya perjalanan haji secara umum standarnya adalah f.110 (Rp27.310.112,3) dan biaya komisi syekh sebesar f.17,5 (Rp4.344.783,22). Karenanya, biaya keseluruhan satu kali perjalanan adalah f127,5 (Rp31.719.028,4).


Pihak Belanda sendiri mewajibkan jamaah menyetor biaya sebesar f.500 (Rp124.388.095). Uang tersebut merupakan uang paspor, jaminan atau pegangan kekayaan sekembalinya jamaah ke tanah air, dan lain-lain. Jika ada kelebihan biaya dari ongkos akan dikembalikan kepada jamaah. Namun sayangnya, tidak ada ketentuan yang rinci mengenai pengembalian tersebut.


Jauh sebelum itu, pihak Belanda juga menetapkan Resolusi pada tahun 1925 dengan menetapkan pembayaran sebesar F.110 (Rp21.187.549,2) untuk paspor ibadah haji.


Dalam buku Indonesia dan Haji yang dihimpun Dick Douwes dan Nico Kaptein, jumlah uang tersebut di masa itu sangatlah besar. Tentu jumlah tersebut belum mencakup biaya perjalanan, biaya makan, penginapan, dan lain-lainnya. Penetapan itu tidak lain guna mencegah banyaknya calon jamaah haji. 


Bahkan jika tidak membayar paspor, calon jamaah haji akan dikenakan denda sebesar F.1.000 (Rp192.614.614). Pada tahun 1831, denda tidak membayar paspor diganti dengan membayar dua kali lipat dari harga paspornya, yaitu F.220 (Rp36.062.446).


Namun, banyak jamaah haji yang berupaya menghindari pajak yang sedemikian besar dan memberatkan mereka itu. Caranya, mereka berangkat ke Makkah melalui Sumatra. Sebab, pada tahun-tahun tersebut, kekuasaan Belanda di Jawa Tengah melemah akibat Perang Jawa, terlebih di Sumatra yang tidak begitu terasa.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad