Fragmen

Mengenang Syekh KH Muhadjirin Amsar, Ulama Produktif dari Betawi (3)

Rab, 17 Juni 2020 | 07:00 WIB

Mengenang Syekh KH Muhadjirin Amsar, Ulama Produktif dari Betawi (3)

KH Muhadjirin Amsar dan Syekh Yasin Al-Fadani

 

Pemikiran Syekh KH Muhadjirin Amsar

Toleransi

Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary adalah ulama yang sangat menghargai keberagaman pendapat dalam memahami ajaran serta nilai Islam yang telah berkembang sejak beberapa abad lalu. Penghargaan atas keberagaman pendapat terhadap ajaran serta nilai Islam tertuang dalam karangannya yang sangat mengedepankan toleransi. Pertikaian antar pengikut setia pendiri ”mazhab” tidak serta merta menjadikannya”fanatik buta” terhadap salah satu mazhab.


Keteguhan hatinya atas penghargaannya terhadap keberagaman pendapat menunjukan luasnya cara berfikirnya. ”Pertikaian” ormas NU dan Muhammadiyah di awal tahun 1950 an tidak membuat Syekh KH Muhadjirin terjebak ke dalamnya. Sikap tidak memihak inilah yang terkadang diartikan oleh sebagian masyarakat yang tidak mengerti untuk memberikan label ”wahabi, antihabib” dan lain-lain.


Contoh konkret terkait dengan hal tersebut adalah pada saat Syekh KH Muhadjirin ditanya oleh salah satu muridnya, ”Pak Kyai...Islamnya NU atau Muhammadiyah”? Serta merta Syekh KH Muhadjirin menjawab, ”...Islam saya adalah Islam Laa Ilaha IllAllah wa Muhammad Rasulullah”.  Meskipun demikian dalam amalan ibadah kesehariannya, Syekh KH Muhadjirin Amsar Ad-Dary sangat kental dengan pemahaman Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja).


Dalam menjawab berbagai persoalan yang mengemuka saat Syekh KH Muhadjirin mengajarkan murid-muridnya, tidak jarang jawaban yang disampaikannya berbeda-beda antarpenanya. Perbedaan jawaban tersebut bukan menunjukan ketidakkonsistenan KH Muhadjirin dalam menjawab atau memberikan solusi, namun semuanya disebabkan pelbagai penafsiran atau pendapat para ulama terkait persoalan yang ditanyakan, sehingga jawaban Syekh KH Muhadjirin akan sangat ditentukan oleh latar belakang serta urgensi orang yang bertanya. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh Syekh KH Muhadjirin kepada murid atau penanya kerapkali disampaikan dengan senda gurau namun tepat sasaran.


Contoh lain jawaban dari KH Muhadjirin adalah pada saat ada murid yang bertanya tentang posisi kepala  jenazah, apakah ada di sisi utara atau sisi selatan ( jika kiblat ke arah barat)? Pertanyaan ini muncul karena adanya perbedaan pemahaman dari para ulama di Indonesia, khususnya Jakarta, mengenai posisi jenazah. Tentunya perbedaan para ulama tersebut dilandasi dengan dalil atau argumentasi yang kuat yang justru menimbulkan kebingungan di masyarakat luas.


Jawaban sederhana diberikan oleh Syekh KH Muhadjirin kepada muridnya sambil berkelakar, ”... Daripada antum ngeributin letak jenazah, mending antum berdiriin aja jenazahnya...”. Sontak saja jawaban tersebut membuat muridnya tertawa. Esesnsi yang hendak Syekh KH Muhadjirin sampaikan kepada muridnya adalah bahwa jangan sampai persoalan “khilafiyah” menganggu substansi yang lebih penting terkait dengan jenazah. 


Demokratis

Pemahaman demokrasi oleh sebagian masyarakat awam dikaitkan dengan paham dunia barat yang cenderung mengutamakan kebebasan serta dikaitkan dengan hal-hal yang kurang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Syekh KH Muhadjirin adalah salah satu ulama yang sangat mengedepankan nilai-nilai demokrasi. Salah definisi demokrasi yang dapat kita jadikan rujukan adalah sebagaimana tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakukan yang sama bagi semua warga.


Bagi Syekh  KH Muhadjirin, keyakinan seseorang baik selaku murid maupun lainnya tidaklah dapat dipaksakan oleh seorang guru. Oleh karenanya, Syekh KH Muhadjirin tidak melakukan pengajaran dalam arti doktrin kepada para muridnya, namun lebih pada pemberian wawasan sehingga pada akhirnya murid-muridnya memahami esesnsi dari persoalan maupun solusi yang dibahas dan dicarikan jalan keluarnya.


Demokratisasi yang sangat kuat dapat dinikmati oleh para muridnya dalam mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. Salah satu contoh adalah dengan diberikannya kebebasan kepada para murid dalam menyebarluaskan ilmu yang telah diperoleh, tanpa harus membawa label ”Annida Al-Islamy” atau ”Muhadjirin” dalam setiap majelis, madrasah, atau pesantren yang didirikan oleh para muridnya. Namun demikian, Syekh KH Muhadjirin pun tidak melarang jika diantara para muridnya hendak menggunakan label “Annida Al Islamy” atau “Muhadjirin”. Semua itu diserahkan sepenuhnya atas kehendak dan kemauan dari para muridnya.


Semasa hidupnya, sekitar tahun 1980-an setidaknya ada 2 murid dari KH.Muhammad Muhadjirin yang meminta izin untuk menggunakan label “Annida Al Islamy”, yaitu KH Makmun Rawa Buaya Cengkareng dan Ustadz H Amin Kalideres. Kemudian di awal tahun 1990-an Ustadz H Asmawi Rawa Bugel Bekasi, dan beberapa murid lainnya, seperti di wilayah Cikampek, meminta izin pula untuk dapat menggunakan label “Annida Al-Islamy”. Secara khusus, itulah beberapa murid KH.Muhammad Muhadjirin yang dapat ditelusuri oleh penulis. Tentunya masih ada di beberapa tempat lain yang penulis kesulitan untuk menelusurinya.


Jihad

Pemahaman kata “jihad” yang saat ini sering salah dipahami oleh segelintir masyarakat, sesungguhnya dapat diminimalkan apabila masyarakat tersebut tergerak hatinya untuk terus menerus belajar. Jihad yang dipahami secara sempit mengakibatkan munculnya distorsi-distorsi yang pada akhirnya justru memperburuk citra Islam. Seyogianya jihad dapat dipahami secara luas yang dapat menghasilkan nilai-nilai positif bagi Islam.


Makna jihad “alternatif” yang dipahami oleh Syekh KH.Muhammad Muhadjirin ternyata sangat jelas terekam dalam kehidupan sehari-harinya. Jihad yang dilakukan oleh beliau adalah dengan cara  mengentaskan kebodohan yang menaungi sebagian masyarakat. Sejak sekembalinya dari belajar di Makkah dan Madinah, hampir tidak pernah terbuang sedikitpun waktu Kiai Muhadjirin untuk terus belajar dan mengajar. Hal ini terbukti dengan keberhasilannya menulis 34 kitab karangan berbahasa arab yang menjadi referensi wajib bagi setiap muridnya yang berada di pesantren. Selain itu pula menurut keterangan beberapa murid senior Syekh KH.Muhammad Muhadjirin, masih ada beberapa kitab karangan lainnya, seperti Tafsir Al Qur’an Surat Al-Maidah. 


Kesungguhan KH Muhadjirin dalam menyebarkan ilmunya dapat terlihat dalam semangat mengajarnya yang tidak kunjung padam meskipun secara kesehatan sudah tidak prima lagi. Setiap selesai sholat shubuh dan maghrib telah menunggu jadwal pengajian para mahasiswa dan dewan guru dengan berbagai disiplin ilmu.


Setiap harinya, kecuali hari Jumat, KH Muhadjirin mengajar di Majma Al-Marhalah Al-‘Ulya dan Madrasah Aliyah Annida Al-Islamy. Kehadiran KH Muhadjirin di lingkungan madrasah menunjukan suri tauladan bagi para muridnya tentang bagaimana “ruh jihad” itu terus senantiasa digelorakan.


Semangat mengajar yang begitu militan dicontohkan oleh KH Muhadjirin terus berlanjut bahkan sampai menjelang kewafatannya. Dalam pengakuan salah satu muridnya, beberapa hari sebelum sakit dan harus dirawat di rumah sakit, KH Muhadjirin masih sempat mengajar beberapa kitab yang biasa dibaca setiap hari Selasa dan Kamis pagi. (bersambung...)


Penulis: Rakhmad Zailani Kiki

Editor: Alhafiz Kurniawan