Fragmen

Hari Pon, Jadwal KH Hasyim Asy'ari Berdagang dan Santrinya Libur

Ahad, 5 Maret 2023 | 09:01 WIB

Hari Pon, Jadwal KH Hasyim Asy'ari Berdagang dan Santrinya Libur

Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy'ari. (Foto: Dok. NU Online)

Jadwal rutin dalam keseharian Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari adalah mengaji dengan santri, kecuali di hari pon. Di hari pon tersebut, KH Hasyim Asy'ari punya jadwal tersendiri, yaitu pergi ke Pasar Jombang, khususnya pasar kuda. Para santri Tebuireng kemudian menyebut libur ngaji dengan istilah Pon.

 

Misalnya, ketika Hadratussyekh berhalangan mengajar ngaji kitab Taqrib di waktu ashar karena satu dan lain hal, para santri akan mengucapkan "Pon, pon," yang artinya pengajian tersebut libur.

 

Kisah ini disampaikan oleh salah seorang santrinya Hadratusyekh, KH Muchit Muzadi kepada Muhammad Mansyur & Fathurrahman Karyadi yang tertuang dalam buku Hadratus Syeikh di Mata Santri (Jombang: Pustaka Tebuireng, 2010, halaman 29-32).

 

Selain ahli di bidang agama, Hadratusyekh juga ahli di bidang bisnis, setidaknya ada 2 usaha yang dilakoni, yaitu pertanian sawah dan berdagang kuda, sehingga pendiri Pesantren Tebuireng mandiri secara ekonomi.

 

Kemandirian ekonomi KH Hasyim Asy’ari ini berdampak pada kemandirian Pesantren Tebuireng dan organisasi yang ia dirikan, Nahdlatul Ulama (NU). Untuk kegiatan peringatan hari besar Islam di pesantren, misalnya muludan atau kegiatan musyawarah NU, misalnya muktamar, tidak pernah meminta sumbangan kepada pejabat pemerintahan atau pihak lain. Bahkan, disumbang pun terkadang menolak karena biayanya memang sudah mencukupi.

 

Kemandirian ekonomi NU

 

Kemandirian ekonomi KH Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama di zamannya membuat muru’ah (wibawa) ulama tetap terjaga dengan baik. Untuk biaya operasional organisasi NU, para pengurus membayar iuran. KH Muchit sendiri mengalaminya.

 

Pada tahun 1941, “pendapatan” KH Muchit Muzadi sekitar Rp350 sen, dari dana tersebut kemudian rutin dialokasikan Rp10 sen tiap bulan untuk NU. Saat itu, Rp10 sen setara dengan harga 2 kg gula dan 2 kg beras. Bukan hanya Kiai Muchit, kiai-kiai yang lain pun melakukan hal yang sama bahkan semakin tinggi jabatannya, semakin besar pula nilai iurannya. Itulah kemandirian NU atau al-I’timad ‘ala al-nafsi (berdiri di atas kaki sendiri).

 

Pada musim pemilu tahun 1955, saat itu NU menjadi partai politik, orang-orang yang menjadi juru kampanye (jurkam) tidak ada yang diberi bekal, mereka mengeluarkan ongkos masing-masing.

 

Ketika di Tuban, KH Muchit Muzadi bersama tim menyewa sebuah gudang rokok besar untuk kampanye. Biaya sewa gudang tersebut diperoleh dari anggota NU yang datang ke lokasi. Meskipun harus bayar, gudang itu sesak dipenuhi warga NU.

 

Penulis: Aiz Luthfi

 

Editor: Fathoni Ahmad