Fragmen

Kisah Mbah Mutamakkin, Mbah Dullah Salam, dan Gus Dur

Ahad, 30 Agustus 2020 | 08:30 WIB

Kisah Mbah Mutamakkin, Mbah Dullah Salam, dan Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

KH Ahmad Mutamakkin atau Mbah Mutamakkin yang haulnya telah digelar pada Kamis (27/8/2020) malam lalu merupakan sosok ulama istimewa di mata KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan warga NU pada umumnya. Gus Dur selalu menyempatkan mampir ke makam Mbah Mutamakkin saat sedang melewati daerah Kajen, Morgoyoso, Pati, Jawa Tengah.


Dalam kesempatan haul pada 9 Muharram 1442 H itu dihadiri ulama terkemuka, KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. Dalam ceramahnya, Gus Mus menekankan ajaran-ajaran kemanusiaan yang kini perlahan-lahan telah luntur. Sebab itu menurut Gus Mus, masyarakat Islam di Indonesia harus lebih mendalami ilmu-ilmu agama melalui ngaji di pesantren.

 

Gus Mus juga memberikan pesan bahwa memperingati haul Mbah Mutamakkin hendaknya bukan hanya persoalan seremonial saja, tetapi masyarakat perlu ngaji ulang, terutama ajaran-ajaran dan contoh-contoh yang diberikan oleh Simbah Syekh Mutamakkin.


Gus Mus memang mempunyai kisah hikmah ketika berbincang dengan Gus Dur yang kala itu hendak berziarah ke maqbarah Mbah Mutamakkin. Gus Dur adalah pemimpin besar yang tidak lepas dari tradisi ziarah kubur dan silaturrahim.


Ketika menghadapi berbagai problem bangsa, baik saat belum menjadi Presiden RI maupun setelah memangku jabatan presiden, Gus Dur lebih memilih berkomunikasi dengan orang yang sudah meninggal dengan mengunjungi makamnya, ketimbang melakukan lobi-lobi politik.


“Saya datang ke makam, karena saya tahu, mereka yang mati itu sudah tidak punya kepentingan lagi.” (Wisdom Gus Dur, 2014)


Menurut riwayat yang diceritakan Gus Mus, Gus Dur saat itu memberi kabar bahwa dirinya ingin bertemu (baca: ziarah) dengan dua orang kiai dari Kajen, Mbah Mutamakkin dan Mbah Dullah (KH Abdullah Salam). Bedanya, Gus Dur ingin bertemu Mbah Dullah di rumahnya, sedangkan Mbah Mutamakkin ingin ditemui Gus Dur di makamnya yang tidak pernah sepi peziarah.


Hal itu Gus Mus ungkapkan ketika sedang berbincang santai dengan KH Husein Muhammad. Ketika itu, Gus Mus langsung meminta Kiai Husein untuk menyampaikan keinginan Gus Dur tersebut ke Mbah Dullah.


Kiai Husein langsung menuju Kajen, Margoyoso, Pati untuk menemui kiai kharismatik yang lahir 1917 (informasi dari KH Ma’mun Muzayyin, menantu Mbah Dullah) ini. Kiai Husein langsung menyampaikan tujuannya menemui Mbah Dullah.


“Wah, Gus Dur tidak akan bertemu dengan Mbah Mutamakkin, beliau sedang keluar,” tutur Mbah Dullah kepada Kiai Husein. (KH Husein Muhammad, Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, 2015)


Kiai Husein sendiri sudah mafhum apa yang dimaksud Mbah Mutamakkin sedang keluar seperti yang diungkapkan oleh Mbah Dullah. Orang-orang shaleh memang kerap mempunyai cara tersendiri dalam berkomunikasi meskipun secara jasad sudah meninggal. Hal ini tentu di luar batas nalar manusia pada umumnya, sebab ulama mempunyai keistimewaan yang disebut karomah.


Informasi dari Mbah Dullah tersebut disimpan oleh Kiai Husein dan akan dikabarkan ketika dirinya bertemu langsung dengan Gus Dur. Kiai Husein tidak mau orang lain salah paham ketika dirinya menyampaikan kabar dari salah seorang kiai sufi dan zahid (bersajaha, zuhud) tersebut.


Atas keinginannya untuk sowan kepada dua orang kiai Kajen tersebut, Gus Dur pun langsung meluncur ke Kajen dan ternyata langsung menuju rumah Mbah Dullah. Padahal, usai tiba di Kajen, mestinya Gus Dur menemui Mbah Mutamakkin terlebih dahulu sebelum menuju rumah Mbah Dullah.


“Lha, jarene (katanya) menemui Mbah Mutamakkin dulu, kok ke sini (rumah Mbah Dullah) dulu?”


Gus Dur menjawab singkat, “Mbah Mutamakkin ora ono, lagek metu (Mbah Mutamakkin tidak ada, sedang keluar).”


Bagaimana Gus Dur mengetahui kabar Mbah Mutamakkin sedang keluar. Padahal kabar dari Mbah Dullah tersebut belum disampaikan kepada Gus Dur. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di benak Kiai Husein.


Menurut Kiai Husein, itulah salah satu tanda kewalian Gus Dur. Orang semacam itu acap kali paham hal-hal yang orang pada umumnya tidak mengerti sehingga Gus Dur sering dinilai weruh sak durunge winara (mengetahui sebelum kejadian).


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon