Fragmen

Cara Tokoh NU Mendidik Anak-anaknya

Sab, 20 Juli 2019 | 20:15 WIB

“Pada suatu hari Abdullah Ubayd datang ke rumah kami dengan dua putra beliau yang masih kanak-kanak. Yag pertama berumur 7 tahun, dan yang kedua kira-kira 5 tahun. Kejadian itu kira-kira pertengahan tahun 1936.” 
 
Peristiwa itu diungkapkan KH Wahid Hasyim dalam sebuah tulisan yang terbit pada Agustus 1941 berjudul Abdullah Ubayd sebagai Pendidik
 
Abdullah Ubayd sendiri pada tahun itu telah tiada. Ia meninggal dunia pada tahun 1938 setelah NU melaksanakan muktamar yang ke-13 di Menes, Pandeglang, Banten. Ia meninggal pada usia relatif muda yaitu pada usia 39 tahun. 
 
KH Wahid Hasyim menulis tentang KH Abdullah Ubayd karena ada pertautan yang sama dengan keduanya. KH Abdullah Ubayd merupakan seorang yang megabdikan hidupnya dalam pendidikan NU pada masa awal berdiri, yaitu menjadi seorang guru di Madrasah Nahdlatul Wathan, mendampingi KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur, di samping sebagai sekretaris majalah NU membantu KH Mahfudz Shiddiq di majalah dua mingguan Berita Nahdlatoel Oelama, dan Ansor Nahdlatoel Oelama. 
 
Sementara KH Wahid Hasyim juga seorang pendidik yang mendirikan Madrasah Nidzamiyah di pesantren ayahnya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Di madrasah tersebut, ia melakukan terobosan baru di kalangan pesantrean jika ditakar pada masanya, yaitu memasukan pelajar umum 30 persen, disamping pendidikan agama. Di madrasah tersebut, di samping diajarkan bahasa Arab, juga Inggris dan Belanda. Suatu hal baru bagi kalangan pesantren tradisional pada masanya.  Di samping itu, KH Wahdi hasyim juga merupakan tokoh lembaga pendidikan NU pada masa awal berdiri, yaitu menjadi Ketua Ma’arif dan mengelola Soeloeh Nahdlatoel Oelama, sebuah majalah tentang pendidikan.   
 
Di dalam tulisan yang disampaikan di awal tulisan ini, KH Wahid Hasyim menceritakan bagaimana KH Abdullah Ubayd mendidik anak-anaknya. Menurut penilaian KH Wahid Hasyim, anak harus dibiasakan mengerjakan sesuatu dengan kemampuannya sendiri sebagaimana dipraktikkan KH Abdullah Ubayd. 
 
Di dalam tulisan tersebut, KH Wahid Hasyim menceritakan anak Abdulllah Ubayd tidak mau meminum teh dari gelasnya. Pasalanya takut tumpah dan membasahai bajunya. Ternyata KH Abdulllah Ubayd tidak mau membantu anaknya, malah membiarkannya. 
 
Lalu bagaimana KH Wahid Hasyim mendidik keenam anaknya? 
 
Putra-putri KH Wahid Hasyim adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Aisyah, Hamid Baidlowi, Salahuddin Wahid, Umar Wahid, Lily Chodidjah Wahid, dan Hasyim Wahid. Di dalam mendidik anak-anaknya, hanya kepada si cikal, KH Wahid Hasyim mendidik sampai usia belasan tahun karena ia meninggal dunia pada usia relatif muda pada tahun 1953 saat perjalanan dari Jakarta menuju Sumedang. 
 
Sebagian cara KH Wahid Hasyim mendidik anak-anak, terekam dari pandangan istrinya, Nyai Sohlihah binti KH Bisri Syansuri, yang diceritaka pada majalah Risalah Islamiyah. Ketika suaminya masih hidup, anak-anak sering mengaji kepada ayahnya  sendiri di tengah kesibukannya menjabat sebagai menteri agama. Tradisi shalat jamaah pun diterapkan betul untuk mewujudkan kedisiplinan anak-anaknya. Setiap maghrib harus berjamaah, lalu dilanjut dengan mengaji Al-Qur’an bersama-sama. Khusus malam Jumat, mereka juga diharuskan membaca tahlil secara berjamaah.
 
Dalam pandangan keluarga Wahid, pendidikan agama sangat penting dalam membina moral anak-anak sehingga peran apapun yang dijalani anak-anaknya kelak, mereka tetap terjaga untuk taat kepada Tuhannya. Selain itu, pendidikan rohani juga mampu menjadikan anak tidak mudah minder (kecil hati) karena Islam mendidik manusia berhati besar tetapi tidak sombong.
 
Sementara Nyai Sholehah sendiri menekankan kepada anak-anaknya agar berusaha menjadi diri sendiri, beramal dengan karya sendiri, tidak menggantungkan dan membonceng orang lain, terutama membonceng kebesaran orang tua. Karena menurutnya, lebih baik menjadi orang besar karena karyanya sendiri daripada menjadi besar karena orang tuanya. Oleh sebab itu dalam pandangan Nyai Sholehah, bekal akhlak dan ilmu pengetahuan mempunyai peran yang sangat penting. (Abdullah Alawi)